CERITA DEWASA - ” Raraaaaaa!!” suara lantang itu menggelar dari deretan kubikel yang dipenuhi kertas-kertas. Tak lama seorang gadis datang dengan tergopoh-gopoh. Agen Domino 99 Terpercaya
” Iya Mas, ada yang bisa saya bantu?”
” Tolong beliin nasi padang dong di tempat biasa, pake rendang ya. Terus bikinin gue teh manis ya.” perintah si Mas yang berteriak tadi.
” Eh gue juga Ra. Pakai telur dadar aja. Sambalnya banyakin.” suara lain ikut menyahut dari belakang kubikel si Mas.
” Rara ulang pesanannya ya. Mas Radit nasi padang pakai rendang. Mbak Dian pakai telur dadar. Terus Mas Radit pesan teh manis. Mbak Dian?”
” Gak usah. Gue bawa air dari rumah.” jawab Dian sambil mengangkat botol minum.
” Rara permisi dulu kalau begitu.”
” Jangan lama Ra!”
Rara mengangguk pelan lalu berjalan menjauh dari kubikel menuju lift. Di dalam lift Rara menghembuskan nafas kasar. Dia baru bekerja di perusahaan ini selama 2 bulan tapi lelahnya seperti setahun berlalu. Dia heran, dari sekian banyak OB dan OG, kenapa selalu dia yang mendapat tugas menyiapkan makannan dan minuman pesana para karyawan kantor. Tahu begini Rara menyesal keluar dari rumah majikannya.
Ah, mengingat majikannya membuat ia tersenyum. Banyak kenangan indah di sana. Sayang, ia harus berhenti bekerja di sana karena pulang kampung dalam waktu kelewat lama. Pikirannya berkelana menuju rumah sang majikan. Membayangkan sedang apa kedua anak majikannya yang selalu dia asuh. Membayangkan Mbok Min yang sibuk memasak di dapur dan ahhhh mengingat ‘dia’.
Rara memejamkan matanya, mencoba menggali lebuh dalam ingatannya tentang ‘dia’. Laki-laki itu meninggallkan terlalu banyak jejak dalam hidupnya. Ia rindu. Pukul 17.30 tepat ketika Rara tiba di kos-kosan tempat selama dua bulan ini ia berlindung dari hujan dan panas. Cepat dia membuka pakaian kerjannya, hanya dengan menggunakan pakaian dalam menggantung seragam kerjanya dengan baik agar bau keringatnya hilang.
Kadang Rara iri dengan para karyawan tempat ia bekerja. Mereka terlihat rapi, tampan dan cantik dengan kemeja atau blus yang melekat di tubuh mereka. Sedangkan ia? Hanya bisa mengenakan seragam berwarna orange ini untuk membungkus tubuhnya.
Bersyukur Rara, bersyukur. Ucapnya dalam hati sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri. Rara bergegas bersiap mandi, ia tak mau menjadi terlalu banyak mengeluh. Ia membuka kaitan branya. Dengan santai melempar bra itu ke dalam keranjang pakaiannya. Dengan gaya centil Rara memperhatikan tubuhnya sendiri di balik cermin.
Dadanya yang membusung membuat ia berdecak. Ia menyentuh pelan putingnya yang berwarna kecoklatan. Menyentil secara bergantian puting kiri dan kanan payudaranya. Bukannya berhenti, kini ia meremas pelan dua gunung kembar itu.
Sesekali ia menyentil kembali putingnya yang mulai mengeras. Rara menggigit bibir bawahnya. Menahan birahi yang mulai tersulut. Matanya terpejam, ia mencoba mengingat sentuhan ‘dia’. Kala ‘dia’ meremas payudaranya dengan kuat dan penuh semangangat. Mengingat juga saat ‘dia’ mengulum gemas kedua putingnya secara bergantian yang seolah selalu mengundang untuk diemut.
Rara kini berpindah posisi, tidak lagi di depan cermin tetapi di atas kasur yang tidak beranjang itu. Tangan kanannya meremas makin kuat di payudara kanannya. Sedangkan tangan kirinya sudah berada tepat ditengah vaginannya yang entah sejak kapan sudah terlepas dari pembungkusnya.
Rara mendesah tertahan ketika jari telunjuknya dengan lembut memijat kacang kecil di kemaluannya.
” Ssshhhhh hmmmpppp”
” Ahhhhh shhhhhh hmmpppp ssshhhh”
Desahan dari bibir Rara semakin kencang, seiring dengan usapan pada klitorisnya. Badan Rara mengejang, kedua kakinya menekuk.
” AHHHHHHHHHHHHH”
Tak lama kemudian terdengar erangan panjang dari mulut Rara beriringan dengan cairan kental yang mengalir dari kemaluannya. Rara melepaskan tangannya dari klitorisnya. Dengan nafas yang setengah-setengah Rara terbaring di kasurnya. Terpejam. Tertidur dengan kondisi telanjang dan lupa untuk mandi. Lagi.
Rara membawa nampan berisi teh dan kopi yang diminta Pak Baskoro 10 menit lalu. Kepala bagian keuangan itu sedang kedatangan beberapa tamu sejak tadi. Entah membahas apa, Rara pun tidak paham.
Dengan perlahan diletakkannya satu persatu cangkir di atas coffe table ukuran sedang di ruangan Pak Baskoro. Sesekali ia tersenyum sopan mempersilahkan para tamu itu menikmati hidangannya. Setelah tugasnya selesai ia pamit keluar ruangan dan menuju pantry. Bokep Barat
Di pantry, Rara menyeduh kopi sachetan untuk dirinya sendiri. Sebentar lagi jam makan siang, dan dia butuh caffein untuk menaikkan mood dia saat menjalankan tugas membelikan makanan untuk beberapa karyawan. Sambil menyesap kopi, Rara tersemyum kecil. Ia ingat beberapa orang di ruangan Pak Baskoro tadi mencuri pandang saat ia meletakkan cangkir-cangkir itu di meja.
Kemejanya yang tidak begitu ketat, memang memudahkan akses pandangan ketika ia menunduk. Dan Rara suka itu. Ada hal lain yang dia rasakan ketika para pria itu asyik mengintip apa yang ada d balik kemeja yang dia kenakan dan membayangkan seperti apa bentuk dan rasanya.
Ughhhh lagi-lagi…. mengingat ini saja mampu membuat putingnya mengeras. Rara melirik jam dinding yang berada di pantry. 20 menit sebelum jam makan siang. Rara, meletakkan cangkir kopinya di meja dan bergegas menuju toilet khusus kacung seperti dia yg berada di belakang pantry.
Rara buru buru masuk ke dalam toilet. Membuka celana kain dan celana dalam yg dikenakannnya.
Sambil bersandar Rara mulai memainkan klitorisnya. Membayangkan tubuhnya yang dijamah oleh tamu-tamu bosnya. Tangan kirinya menyusup kedalam kemeja yang kancingnya sudah terbuka tiga. Meremas penuh nafsu payudaranya sendiri. Memainnkan setiap inci dari puting coklatnya.
” Shhhhh shhhh” Rara tidak lupa ia berada di mana, maka dari itu ia berusaha sekuat mungkin meredam suara yg keluar dari mulutnya.
Jari telunjuknya kini mulai mengelus lubang kecil di bawah klitoris. Sedangkan jarinya masih menstimulan klitorisnya. Tidak sanggup menahan desakan, Rara mulai memasukkan satu jarinya ke dalam lubang kenikmatan itu.
Ditekuknya jarinya itu. Dan perlahan dia memijat bagian yang ia tahu sebagai G-spot dirinya.
“Hmppp sshhhh hmmpp”
Makin lama pijatan makin kuat. Jempolnya juga makin kuat menggesek kacang indah itu.
Telunjuknya kini tidak lagi memijat, tetapi mulai bergerak keluar masuk, diikuti dengan desahan yang makin coba ia tahan.
” Hmmmpppp shhhh hmmmmmpppp uhhhhhh”
Gerakan telunjuknya makin cepat, cepat dan cepat dan akhirnya………
Baskoro Admajaya adalah salah satu pegawai senior di perusahaan properti ini. Penampakannya khas laki-laki beumur 50-an. Berperut buncit, rambut mulai terkikis usia, dan kumis melintang, mirip sosok Pak Raden di serial acara anak-anak buatan Indonesia yang lumayan terkenal bagi generasi 90-an.
Dari bincang-bincang para OG lainnya yang di dengar Rara, Pak Raden….eh Pak Baskoro ini duda 3 anak yg kesemuanya sudah menginjak usia remaja. Istri beliau meninggal 5 tahun lalu dan sejak saat itu Pak Baskoro tidak pernah menikah lagi.
Pak Baskoro juga dikenal sebagai sosok keras yg idealis. Menjungjung tinggi prinsip hidupnya yang jujur dan penuh moral.
Tapi bukan itu yang menjadi alasan Rara memfokuskan dirinya memikirkan pria itu. Tapi sikapnya yang semena- mena kepada dirinya. Dari seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan ini, hanya Pak Baskoro sajalah yang sangat kasar kepada dirinya. Tidak terbilang selama dua bulan bekerja, Rara dibentaknya. Entah karna kopi yang kurang manis atau sambal yang ada di makanan pesanannya kurang banyak.
Berkali-kali ingin rasanya Rara melemparkan nampan ke wajah laki-laki setengah baya itu. Tapi apa daya, itu hanya sekedar angannya karena Rara sadar Pak Baskoro itu bosnya.
Seperti sekarang, dengan wajah merengut Pak Baskoro memanggilnya untuk memesan segelas kopi hitam.
” Bikinkan saya kopi sepeti biasa. Tapi gulanya ditambah. Masa setiap bikin kopi selalu kuramg manis.”
Rara hanya menggangguk menanggapi omelan Pak Baskoro. 10 menit berlalu Rara kembali mengetuk pintu ruangan berukuran 4×5 tersebut. Setelah mendengar jawaban dari dalam sana, Rara melangkah pelan menuju meja Pak Baskoro.
” Ini kopinya Pak.” ucap Rara setelah meletakkan cangkir di meja kerja Pak Baskoro.
Pak Baskoro hanya melirik singkat lalu mendengus dan kembali menekuni laporan keuangan di depannya. Rara yang sadar tugasnya selesai, berbalik setelah mengucapkan permisi. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara Pak Bas.
” Itu seragam kamu, kenapa kancingnya kamu buka?” Rara diam, menengok ke bawah, ke arah kemejanya.
” Ini anu Pak…. panas. Jadi tadi saya buka waktu di pantry. Maaf saya lupa membetulkannya lagi.”
” Itu rok kamu tidak ada lagi yang lain? Kenapa pakai yang pendek begitu. Kamu itu kan cuma OG. Bukan sekretaris.” Kali ini Pak Baskoro menunjuk rok hitam yang dikenakannya.
” Rok dan celana kain yang saya punya masih basah semua Pak. Beberapa hari ini kan hujan.” jawab Rara gugup.
” Hhhh… ya sudah. Balik sana ke pantry. Besok-besok saya tidak mau melihat kamu pakai rok itu lagi. Paham?!”
Rara mengangguk kuat dan segera berbalik keluar dari ruangan Pak Baskoro. Rara meletakkan nampan yang ia gunakan untuk membawa kopi Pak Baskoro tadi di rak piring yang berdampingan dengan kulkas mini.
Lalu dengan santai ia memasang kembali kancing seragam OG-nya. Dan menarik turun bagian bawah roknya agar menjadi lebih panjang seperti semula.
Satu senyum simpul terukir di wajah ayunya.
Laki- laki itu terbaring namun tak jua bisa terpejam padahal angka jam di sampingnya sudah sedari tadi melewati angka 11. Ada sesuatu yang membuat ia tidak bisa terlelap dan ia tahu hal apakah itu.
Laki- laki itu melirik sisi sebelah kanannya, disana seorang wanita yang ia panggil istri asyik terlelap dengan terbungkus selimut. Tidak terganggu dan tidak menyadari kalau suaminya gelisah di sampingnya. Seolah hanya ia sendiri saja yang berada di ranjang king size itu.
Laki-laki itu, kita panggil saja dia Radja, pria berumur 45tahun, gagah, dengan wajah yang lumayan lah walau belum masuk kategori terlalu tampan, kembali sibuk membolak balik badannya ke kiri dan ke kanan. Sesekali juga ia melirik lagi istrinya, berharap si istri peka. Namun sayang, seperti malam-malam sebelumnya, istrinya kembali enggan melayani dirinya.
Radja bangun dari ranjang, menuju pintu dan keluar. Mengambil bungkus rokok yang berada di ruang keluarga dan duduk lemas di teras belakang.
Benak Radja melayang, memikirkan istrinya yang mendadak aneh sejak kehamilan anak ke dua mereka. Tidak lagi bersemangat dalam urusan ranjang mereka. Bahkan sejak gadis kecil mereka lahir, istrinya itu sering menolak ajakan paling nikmat di muka bumi itu.
Sebenarnya ia tak ambil pusing urusan itu 3 tahun yang lalu, karena Radja memiliki ‘dia’. Rumah keduanya, yang membuat dia selalu bersemangat pulang ke rumah sepenat apapun ia di kantor.
Bibir Radja yang menghembuskan asap rokok seketika tersenyum. Setahun yang lalu ‘dia’ masih ada di sini. Menemaninya dengan segelas wedang jahe saat ia terserang insomnia. Memenuhi kebutuhannya saat istrinya menolak dirinya. Setahun berlalu sejak dia pergi, dan Radja merindukan ‘dia’. Masih merasakan kehadirannya saat melingkupi bagian tubuh Radja yang mengeras.
Radja melirik ke bawah. Tangannya yang bebas mengelus perlahan batang keras yang makin menonjol sejak tadi.
” Sepertinya kita main solo lagi Jo.” bisiknya di sela hisapan rokok.
Radja membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang ada di depan matanya ‘Dia’ berdiri dengan lingerie yang dulu pernah Radja berikan. Radja ingat ‘dia’ tidak pernah mau mengenakan lingerie berwarna putih itu dengan alasan malu. Alasan yang selalu diakhiri dengan kekehan dari Radja mengingat aktivitas ranjang mereka tidak pernah melibatkan sehelai benang pun.
‘ Dia’ berjalan pelan menghampiri Radja yang terlentang diatas ranjang. Dengan gaya centil yang Radja ajarkan, ‘dia’ perlahan merayap ke atas kasur. Mendekati Radja dengan merangkak dan omenggoda. Radoja selalu suka melihat hasil karyanya bisa menjadi sehebat ini. Gadis oyang bertransformasi menjadi bitch dengan sempurna.
‘Dia’ terus merangkak mendekati Radja. Payudaranya yang hanya tertup lingerie terlihat bergoyang kekanan dan kiri mengikuti gerak tubuhnya yang merangkak sensasional.
‘Dia’ kini sudah duduk tepat di atas selangkangan Radja Dengan seduktif ‘dia’ mengelus rahang berjambang milik Radja. Menyusuri tulang keras yang membentuk wajahnya itu. ‘Dia’ mendekatkan wajahnya tepat di depan Radja. Menempelkan bibirnya yang terpoles lipstik merah ke bibir Radja. Ciuman yang Radja rasa semakin mahir.
Ciuman itu awalnya hanya sentuhan biasa, sekedar menempelkan bibir mereka berdua. Namun itu hanya sementara. Tak lama bibir gadis di hadapan Radja ini bergerak membuka. Mencoba menyelusupkan lidahnya ke dalam rongga mulut Radja yang tentu tidak akan Radja lewatkan.
Lidah mereka saling mengait, menyapu langit2 mulut, menggigit bibir bawah, merasai liur masing-masing. Sembari beradu lidah, tangan si gadis mengeksplor dada dan perut Radja. Meraba bidang datar di hadapannya. Radja melenguh pelan di tengah ciuman mereka.
Membalas tindakan ‘dia’, Radja juga tak mau tinggal diam. Ditangkupnya kedua bukit kembar favoritnya itu. Merasakan tekstur kenyal dan lembut yang selalu membuatnya rindu.
Tangan si gadis sendiri sekarang sudah melingkar lemas pada punggung Radja. Payudaranya habis dieksplorasi dan perlahan salah satu tangan Radja menggosok area vaginanya.
” Akhhhhhh…” erangan ‘dia’ lolos terdengar saat Radja mengelus klitnya dari balik g-string berwarna senada.
Ciuman mereka makin panas, semakin lekat dan intens. Sebentar jeda diambil Radja untuk meloloskan ‘baju minim’ itu. Sesekali Radja iseng mencubit puting coklat di depannya. Si gadis pun cekatan membuka pakaian Radja yang tersisa. Segera mereka polos berjamaah.
Tertegun Radja menikmati ‘keajaiban dunia ke-delapan’ yang terpapar di hadapannya. Tangannya masih menempel di payudara sang gadis, penisnya melekat di pintu gerbang taman bermain. Tinggal memasukkan koin, permainan segera dimulai ..
Dengan penuh rasa lapar, Radja mendorong perlahan batang lolipopnya. Sempit….. masih sama seperti terakhir ia menikmatinya. Ditekannya lagi lebih dalam…
” Akhhhhhhhhhhhh”
Helm dan batang Radja sukses menembus pintu. Radja tidak ingin terburu- buru. Ia nikmati setiap sensasi denyutan yang dihasilkan vagina gadis di bawahnya.
‘Dia’ ternyata lebih tidak sabar dari Radja. Dengan kedua kakinya, ditekannya pantat Radja ke depan, sehingga penis kebanggaan Radja terperosok lebih dalam.
Radja melenguh bak sapi jantan. Menahan setiap getaran yang terasa di sepanjang batangnya. Tak tahan, Radja memutuskan menggoyang pinggulnya. Maju mundur.
” Akhhhhhh ahhhh ahhhh ” desahan dari gadis di bawahnya itu menjadi musik penyemangat bagi Radja. Ia menjadi lebih bersemangat, terlebih saat gadis itu mencengkram lengannya saat Radja menghentakkankemaluannya lebih dalam.
Plok! Plok! Plok! Suara penis dan vagina yang beradu terdengar nyaring memenuhi kamar peraduan mereka. Radja makin mepercepat dan memperdalam tususkannya.
Radja menggengam payudara gadis itu ketika di rasanya sesuatu di dalam sana ikut mencengkram batangnya.
” Radja……..” nama Radja terdengar dari mulut si gadis bersamaan dengan cairan kental yang dirasa Radja menyemprot kemaluannya dan lengkungan indah tubuh ‘dia’.
Radaja tidak sanggup menahan lebih lama lagi. Ia sampai di batas pertahanannya. Tanpa ampun Radja menggenjot vagina si gadis dengan lebih cepat. Lebih cepat. Semakin dalam.
” Ahhhhh ahhhhh uhhhhh ohhh yessss… ohh god…. ohhhhh ahhhh nooooo AKHHHHHHHHH”
‘Dia’ mendapatkan lagi puncak itu dan tak lama kemudian Radja mengejang. Badannya kaku. Dengan sekali hentakkan dalam Radja mengeluarkan cairan hangatnya ke dalam rahim si gadis.
Tapi sebelum itu terjadi, waktu di sekitar mereka seolah berhenti.
” Mas bangun! Kamu nggak ngantor?”
Suara yang terdengar melengking membuat Radja mengerjapkan kedua matanya. Ia terkejut, ia masih di ruangan yang sama, dengan ruangan tenpat ia memadu kasih tadi, namun sosok gadis itu tidak lagi terlihat, digantikan sosok istrinya yang sudah berpakaian rapi.
” Kamu mau kemana?” Radja bertanya saat sadar istrinya sedang memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper kecil di atas ranjang.
” Aku ada kerjaan di luar kota lagi Mas.” jawab sang istri singkat.
” Lho kamu kan 2 minggu lalu baru pulang dari luar kota. Masa iya harus pergi lagi?” Radja seolah tak percaya dengan jawaban sang istri.
” Ya memang begitu kenyataannya, aku bisa apa. Udah deh aku bisa telat boarding kalo layanin kamu ngobrol. Kamu bangun sana mandi.” Bokep Jepang
Istrinya itu menutup koper yang sudah rapi dan menatap seluruh tubuh Radja. Tapi gerak matanya berhenti ketika melihat bercak basah di bagian selangkangan Radja.
” Kamu mimpi basah y Mas?” tanya si istri sambil mendengus dan menatap dengan sinis. Radja yang mendengar pertanyaan istrinya, menuju tempat yang dilihat sang istri. Dan menyadari apa yang membasahi celana tidurnya itu.
Sekarang ia sadar apa yang sedang terjadi. Ia bermimpi.
Rara menutup panggilan yang sudah berlangsung hampir 1 jam di handphonenya. Tanpa jeda ia lalu menghela napas lelah memikirkan apa yg tadi disampaikan oleh adiknya.
” Mbak yu, bapak ngutang maning. Sudah 3 kali yang nagih, gedor-gedor umah. Piye Mbak?”
Lagi, Rara menghela nafas ketika berpikir keterlaluannya ulah bapak kandungnya itu. Tidak cukup memadu ibu ketika ibu sakit, sekarang berhutang untuk istri keduanya dan kabur begitu saja. Meninggalkan beban kepada keluarga mereka.
Tanpa Rara sadar, air matanya menetes di pipinya yang mulus. Karena kelakuan bapaknya itu ia rela meninggalkan mimpinya untuk berkuliah dan bekerja menjadi pembantu di Jakarta. Mengumpulkan uang untuk membayar hutang dan biaya pengobatan sang ibu.
Beruntung majikannya begitu baik padanya, mengajarkan banyak hal dan kadang memberikan uang lebih untuk dikirimkan kepada keluarganya di kampung.
Rara tersenyum kecil dengan air mata yang masih mengalir mengingat itu. Majikannya itu….hhhh Rara melirik jam yang tertera di layar handphone-nya.
Pukul 10.45
Rara sejak dulu terbiasa tidur larut, dan kebiasaan itu tidak berubah sampai sekarang. Karena kebiasaan itu juga ia jadi sering bertukar cerita dengan majikannya itu. Karena kebiasaan itu juga Rara mengenal ‘dia’. Cinta pertamanya.
Mengingat cinta membuat ia makin merasa sepi dan sendiri. Sudah setahun ia menahan gejolak itu. Dan ia sadar akhir- akhir ini ada sesuatu yang membangkitkan gejolak itu untuk berkembang lebih besar lagi.
Rara termenung mengingat kejadian tadi sore.
Rara bersiap menyeberangi jalan raya di depan tempatnya bekerja saat sebuah mobil menghampirinya. Sempat terkejut ia saat menyadari siapa yang berada di balik kemudi stir.
” Kamu pulang ke arah mana?”
” Eh..iya Pak?”
” Kamu pulang ke arah mana?” laki-laki di balik setir mengulang pertanyaannya dengan dengusan kesal.
” Pasar Minggu, Pak.”
” Naik. Saya ada urusan juga di sekitar Pasar Minggu.”
Rara terlihat enggan. Ia memang pernah menggoda laki-laki ini. Tapi ia juga sadar posisinya hanya seorang kacung. Lagipula dia menggoda laki-laki itu karena kesal selalu diomeli.
” Tidak usah Pak, saya bisa naik bus kok.” Rara menolak halus tawaran laki-laki itu.
” Ngapain kamu sungkan begitu?? Kemarin juga kamu tidak sungkan melepas kancing baju kamu di depan saya.”
Pipi Rara bersemu merah mendengar ucapan laki-laki itu.
” Kan saya sudah jelaskan Pak. Saya lupa memasang kancing baju ketika kepanasan di Pantry.”
” Ya udah kalo gitu ayo masuk.” perintah laki- laki itu sekali lagi.
Setelah memastikan beberapa hal akhirnya Rara setuju untuk menumpang mobil berwarna putih itu.
Tak ada yang dibicarakan oleh Rara dan laki-laki yang menyetir disampingnya itu. Laki-laki itu fokus kedepan, sedangkan Rara terkadang melirik ke arahnya. Lebih tepatnya ke arah hal yang mengelembung di balik celana kain berwarna hitam yang dikenakan laki-laki paruh baya itu.
Baskoro bukan tidak sadar bahwa Rara sedari tadi melirik ke arah dirinya. Namun ia diam saja, mencoba fokus walaupun ia tahu itu adalah hal sia-sia.
Kemaluannya tidak bisa bersikap acuh tak acuh dengan pandangan seduktif Rara. Batang itu menggeliat, bangun dan membesar.
Oh God, dia bukan ABeGe yang baru mengenal video dewasa. Dia sudah memiliki 3 orang anak. Menjadi hal lucu kalau dia terangsang hanya karena diperhatikan oleh gadis itu.
” Kamu kenapa lirik-lirik saya terus?” tanya Baskoro tiba-tiba. Mengejutkan Rara.
” Eh tidak Pak. Saya tidak lirik-lirik.”
” Jelas-jelas dari tadi kamu melihat saya terus. Ada yang salah dengan muka saya?”
Rara gelagapan mendapatkan pertanyaan mendadak seperti itu. Wajahnya memerah menahan malu karna tertangkap basah memperhatikan laki-laki tua di sebelahnya.
” Maaf Pak.” lirih Rara dengan wajah tertunduk.
Baskoro sedikit merasa bersalah karena bertanya dengan nada tinggi. Ia lalu menyentuh paha Rara yang berbalut rok sepanjang lutut.
” Sudah, sudah. Saya tidak marah. Hanya bingung.” ucap baskoro pelan sambil mengelus tempat tangannya bersarang. Tubuh Rara sedikit meremang. Dari mulutnya keluar erangan kecil namun masih bisa tertangkap telinga Baskoro.
Tersadar, Baskoro menarik tangannya dari paha Rara dan kembali fokus kepada jalan di depan mereka tanpa melihat Rara yang menggigit bibir bawahnya.
” Pak, yang tadi itu..”
” Saya tidak sengaja. Saya hanya mau menenangkan kamu. Tidak usah berpikir saya bernafsu dengan kamu.” belum selesai Rara bicara, Baskoro lebih dahulu memotong.
” Saya bukan mau membahas yang tadi Pak. Saya juga sadar diri saya siapa. Saya cuma mau bilang, tadi itu jalan ke arah kos saya. Bapak terlewat jauh.” balas Rara sewot.
Sok sekali laki- laki ini. Pikir Rara dalam hati.
Baskoro tidak menanggapi kalimat Rara. Bahkan meminta maaf karena salah sangka pun tidak. Hanya memasang wajah datar. Wajah menahan malu.
” Berhenti di sini saja pak. Putar baliknya nanti susah.” ujar Rara melihat wajah datar Baskoro.
” Terima kasih sudah mengantar saya Pak. Selamat sore.” pamit Rara ketika turun dari mobil Baskoro.
Dengan gerak cepat yang tidak Baskoro sangka Rara mengecup pipi sang kepala keuangan.
Rara tersenyum senang setelah kejadian itu terputar ulang di kepalanya. Ya, dia tahu cara mendapatkan uang dengan cepat. Hanya butuh sedikit manuver dan mangsanya ada digenggamannya.
Tidak, dia tidak akan menjual diri atau menawarkan dirinya kepada Baskoro. Baskoro lah yang akan bertekuk lutut meminta pelayanannya nanti.
Karna satu yang Rara pahami. Laki- laki akan memberikan apapun bahkan tanpa diminta, bila wanita dapat memberikan yang terbaik untuk selangkangan mereka.
Sejak hari di mana Baskoro mengantar Rara pulang untuk pertama kalinya itu, Baskoro menghindari keberadaan Rara. Dia tidak lagi memanggil Rara ketika ingin memesan kopi untuknya ataupun untuk kolega yang datang menemuinya.
Tentu saja hal itu membuat Rara kesal. Jika Baskoro terus menjauhi Rara, akan sulit buat Rara menjalankan rencananya. Bagaimana caranya mendekati duda itu kalau segala akses yang bisa digunakan Rara tertutup?
Rara terus berpikir keras. Membuat ekspresi terlihat lucu. Bibirnya yang selalu berbalut lipstik nude yang mengerucut terlihat menggemaskan bagi para OB rekan kerjanya yang kebetulan berada di pantry.
” Nopo toh Ra, misuh misuh gitu?” tanya Parjo yang sedang membuat minuman pesanan.
” Rapopo mas.”
” Rapopo piye? Mulutmu dari tadi monyong- monyong minta dicium”
” Ih mas Parjo apaan sih.” jawab Rara dengan menekuk wajah.
” Ya terus kenapa? Mbok ya cerita.”
” Ndak apa-apa. Aku cuma mikirin keluarga di kampung.”
” Ya wes kalo gitu. Kalau awakmu susah mas siap jadi pelipur lara hahaha.” badan kurus Parjo berguncang karna tertawa kencang. Rara hanya tersenyum malu-malu.
” Nah daripada kamu misuh, ngelamun. Ini diantar keatas. Ke ruang Pak Kiki iso toh?”
Rara mengangguk lalu berdiri dan mengambil nampan yang telah berisi cangkir- cangkir yang tersusun rapi.
” Hati- hati ya Ra.” Rara membalas dengan senyuman.
” Permisi Pak. Saya mau antar minuman.”
” Oh iya masuk Rara.”
Rara segera masuk ke dapam ruangan setelah diberi izin. Di dalam sana ada beberapa orang yang Rara tau adalah penghuni lantai 3 dan 4. Pak Kiki Kepala Marketing, Pak Budi, bagian HRD, Pak Feri, bagian Humas dan Pak Baskoro.
Rara meletakkan masing-masing cangkir dengan cekatan namun tetap terlihat anggun (please bayangin sendiri gimana bentuknya). Saat meletakkan cangkir milik Pak Feri, tak disangka tangan laki-laki berusia 39 tahun itu mengelus paha bawah Rara yang terbungkus rok sepanjang lutut dari belakang.
Terang saja Rara terhenyak, dan itu menarik perhatian Baskoro yang posisinya di seberang Rara. Rara tersenyum kecil mencoba menyapa Baskoro dan memberi kode minta tolong. Namun dilihatnya hanya Baskoro yang memalingkan wajahnya dari Rara.
Rara tanpa sadar langsung memasang wajah sedih dan segera pamit kepada Pak Kiki, dan itu membuat tangan Pak Feri menjauh dari pahanya. Tapi sempat-sempatnya lagi Feri menepuk pantat Rara saat gadis itu berbalik menuju pintu yang ditanggapi tawa dua rekannya yang lain.
” Fer, ini kantor. Jangan bawa kebiasaanmu itu lah. Kalian juga, bukannya menegur malah ikut tertawa” tegur Baskoro saat Rara telah meninggalkan ruangan itu.
” Halah Pak Bas, jangan sok alim. Bapak mupeng juga kan lihat badan montoknya itu OG. Apalagi bapak duda menahun. Nggak mungkin gak ada nafsu sama itu perempuan.” jawab Feri songong yang lagi- lagi ditanggapi tawa lainnya.
” Ckkk… body-nya itu weleh. Coba kalau dia bukan OG sini sudah ku jadikan kekepan. Nggak bisa bayangin aku kalau pantatnya itu naik turun di atas saya hahaaaa….” suara keras Budi terdengar menyahut.
” Hah, apa kurang perempuan yang sudah kamu pelihara? Masih mau nambah hahaaa ?” Pak Kiki tidak ketinggalan bersuara.
Baskoro hanya geleng-geleng kepala mendengar obrolan para laki- laki di hadapannya, tak berniat mengiyakan dan berkomentar lagi. Otaknya sibuk menyesapi rasa kopi yang berbeda. Dia tahu, kopi ini bukan buatan Rara.
Rara menghentakkan kaki dengan kasar saat menuruni tangga menuju lantai 2 tempat pantry berada.
Ia kesal dengan sikap Pak Baskoro yang mengacuhkannya. Bukannya hari itu Baskoro mengelus pahanya? Artinya laki- laki itu peduli padanya kan? Lalu kenapa sekarang mengacuhkannya?
Terlebih lagi tadi, apa laki- laki itu tidak menyadari tatapan minta tolongnya? Ia tidak bodoh, ia tahu Feri berkantong tebal. Tapi ia juga tau Feri laki- laki beristri yang hobi main perempuan.
Paling tidak sepertiga karyawan kantor yang berbadan asyik pernah dimasukinya. Belum lagi ada kabar bila Feri memiliki simpanan di luar. Laki- laki seperti itu hanya mengingatkan Rara pada ayahnya yang haus sex. Dan Rara benci laki- laki seperti itu.
Lalu bagaimana dengan ‘dia’? Apa Rara membencinya juga? Rara termenung. Terdiam sesaat mengingat laki- laki itu juga sudah berkeluarga. Lalu cepat ia menggeleng. ‘Dia’ berbeda, apa yang terjadi pada laki- laki itu bukan kehendaknya. Ada alasan ia bermain dibelakang istrinya. Rara tahu karna menyaksikannya dari hari ke hari.
Asyik dengan pikirannya membuat Rara tidak memperhatikan langkah kakinya. Ia tidak sadar kalau undakan tangga di bawahnya lebih pendek dari yang lain. Dan akhirnya ….
Brukkkk!!!!
” RARAAAAA!”
Rara keluar dari loby kantor tepat ketika Baskoro tiba dari makan siang di rumah makan terdekat. Dahinya mengernyit melihat Rara berjalan dipapah laki- laki yang Baskoro tahu adalah rekan Rara sesama kacung di sana.
” Ini ada apa. Kenapa harus peluk-pelukan?” tanya Baskoro mendekati mereka berdua.
” Rara jatuh dari tangga Pak. Kakinya terkilir, jadi saya mau antar dia pulang.”
Baskoro terkejut mendengarnya dan melihat pergelangan kaki kanan Rara yang terbalut perban.
” Kamu mau antar dia pakai apa? Motor? Sudah kamu temani dia disini. Saya ambil mobil dulu. Biar saya yang antar dia.”
Office Boy yang memapah Rara seperti keberatan dan hendak membantah Baskoro, namun melihat Baskoro yang mendelik, akhirnya OB itu merelakan kesempatan mengetahui rumah Rara sang pujaan hatinya.
Baskoro tidak bisa pura- pura tak peduli kepada gadis yang sedari awal mencuri perhatiannya itu. Ia tahu tidak sepantasnya ia tertarik kepada gadis yang cocok jadi anak atau bahkan menantunya ini. Tapi ia tidak dapat membohongi hatinya walau sekuat apapun ia menghindar. Perasaan yang ia sangka tidak akan muncul lagi setelah kepergian sang istri kini tumbuh.
Diliriknya kaki Rara yang terbalut, jujur ia khawatir melihat itu. Juga kesal, mengapa gadis ini ceroboh hingga membuat kakinya terkilir. Apa sih yang dipikirkan gadis itu saat melangkah.
” Kaki kamu bagaimana?” tanya Baskoro memecahkan sunyi
” Sudah lumayan Pak hanya nyeri saja.”
” Kamu memangnya sedang mikirin apa sampai bisa jatuh dari tangga??”
Rara menunduk, wajahnya yang kuning langsat merona seketika. Hal itu tak lepas dari pandangan Baskoro yang melirik dari kaca spion.
” Saya memikirkan… hmmm… ba..ba… bapak.” jawab Rara tergagap.
Mendengar itu sontak Baskoro langsung mengerem kendaraannya. Rara terlonjak ke depan, beruntung sealt belt terpasang rapi hingga dia tidak membentur dashboard.
” Kamu bilang apa ?? Memikirkan saya?”
Rara hanya mengangguk pelan dengan wajah yang makin tersipu.
” Kamu….hmm…. suka sama saya?” ragu Baskoro bertanya.
Rara hanya menutup wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus. Membuat Baskoro gemas. Baskoro melepaskan seat beltnya. Menghadap Rara dan memegang kedua bahu gadis itu.
” Jawab pertanyaan saya. Kamu suka sama saya?”
Rara masih diam dengan wajah tertutup telapak tangan.
” Rara…” Baskoro memanggil Rara dengan suara yang terdengar lebih serak. Rara yang menyadari perubahan suara Baskoro mendongak. Menatap kedua netra yang berwarna hitam pekat.
” Jawab !” perintah Baskoro. Rara yang seolah terhipnotis hanya sanggup mengangguk.
” Jawab dengan mulut. Saya tidak tahu maksud kamu.”” I…” belum selesai kata- kata yang keluar dari bibir Rara, bibir mungilnya itu telah menempel dengan bibir kasar milik Baskoro.
Entah sejàk kapan Rara berpindah posisi menjadi duduk di pangkuan Baskoro. Suara cecapan keduanya mengiringi aksi lidah mereka yang saling membelit. Bergerak liar seolah berlomba meraup lawan. Sesaat benang air ludah mereka memanjang kala mereka melepas pagutan bibir untuk sejenak meraup udara yang terasa menipis. Kala paru- paru mereka kembali penuh dengan oksigen, bibir mereka kembali menyatu.
Rara menggigit bibir bawah Baskoro menggoda agar lelaki itu kembali membuka bibirnya dengan sadar. Menyusupkan lidahnya ke dalam rongga mulut pria paruh baya di hadapannya. Tangannya yang mengalungi leher Baskoro merambat naik meremas rambut yang sebagiannya mulai memutih saat Baskoro meremas bokong Rara yang berada tepat di atas selangkangan Baskoro.
Rara tidak memiliki banyak pengalaman berciuman. Hanya dengan ‘dia’ Rara pernah melakukan hal itu dengan segala tekhnik. Tapi Rara tahu, ciuman yang diberikan Baskoro berbeda dengan ciuman milik ‘dia’. Ciuman Baskoro terkesan penuh emosi, bukan nafsu. Baskoro seakan menumpahkan segala hal yang dirasakan pria itu. Rasa ragu, yang bercampur dengan kerinduan yang ia tidak mengerti darimana datangnya.
Rara memanfaatkan hal itu dengan baik. Terus memagut bibir Baskoro, memancing nafsu laki-laki itu. Rara sadar, tidak akan ada kesempatan lain baginya untuk melempar kailnya kalau ia melewatkan saat ini begitu saja. Dengan tekhnik berciuman yang pernah diajarkan ‘dia’ Rara berusaha menaikan kegairahan laki-laki tua dibawahnya.
Tak lama bagi Baskoro yang lama menduda untuk terangsang. Cara Rara mengeksplore mulutnya membuat gelenyar tersendiri bagi dirinya. Ia tidak pernah sekalipun mendapatkan perlakuan seperti ini bahkan dengan almarhum istrinya dulu. Selalu ia yang menjadi tokoh utamanya, memimpin setiap permainan ranjang rumah tangga mereka. Namun hari ini, untuk pertama kalinya, Baskoro merasakan apa itu yang namanya diperlakukan bak raja. Pagutan yang terjadi antara dirinya dan Rara membuat dirinya merasa lebih muda. Membuat dirinya kembali penuh dengan geloran semangat. Bokep Korea
Rara sendiri kini mulai turun menciumi rahang Baskoro. Mengecup setiap inci permukaan yang terasa halus karena rajinnya sang empu mencukur jambang yang mulai tumbuh. Bibir Rara juga menciumi sudut bibir Baskoro. Sesekali menggigit bibir bawah Baskoro.
Kemudian Rara bergerak menuju cuping telinga laki- laki itu. Baskoro sendiri tidak tinggal diam, tangannya dengan sigap meremas gundukan yang selama ini hanya ia nikmati belahannya saja ketika gadis itu mengantarkan kopi untuknya. Remasan itu sesekali lembut dan menguat setiap kali Rara mengecup keras setiap jengkal leher Baskoro.
Dengan tangan gemetar Baskoro berusaha membuka kancing kemeja yang masih membungkus kedua payudara Rara, matanya membulat melihat penampakan bongkahan besar berwarna putih yang setengahnya tertutup bra berwarna hitam. Selama ini ia hanya membayangkan bentuk payudara gadis itu kala malam menemaninya. Tidak pernah dalam mimpi sekalipun terlintas ia akan menyentuh bongkahan daging yang terlarang untuk dia sentuh.
Baskoro mengelus pelan bagian atas payudara Rara yang menyembul. Matanya menatap sayu mata Rara, meminta izin untuk menikmati hidangan di depannya. Rara hanya memberikan senyuman kecil sebagai jawaban. Karena memang itu yang Rara harapkan.
Merasa mendapat izin, Baskoro menarik turun bra hitam itu hingga isinya mencuat, memantul mengenai ujung hidung Baskoro. Seketika wangi khas dari keringat yang melingkupi dada dara itu menguar, menusuk penciuman Baskoro. Membuat pria itu makin hilang akal dan menangkupkan kedua tangannya ke atas payudara berukuran besar milik Rara.
Tangan besar Baskoro mulai meremas gundukan bulat yang sekarang terasa lebih nyata karena tidak tertutup apapun. Puting kecilnya yang kecoklatan terlihat menggoda Baskoro untuk segera melabuhkan jarinya di sana. Gemas, Baskoro melintir kedua puting yang tegak mengacung. Rara bergerak gelisah, menggelinjang kegelian.
Dari mulutnya terdengar erangan pelan saat puting kecilnya tak lagi dimainkan oleh jari Baskoro melainkan berganti dengan mulut lelaki paruh baya tersebut. Bibir kasar Baskoro terasa mengelitik ditambah dengan gesekan yang disebakan kumis melintang Pak Raden milik Baskoro. Lidah Baskoro pun tak ketinggalan memainkan pentil susu si gadis yang sekarang melonjak kegelian.
Payudara kanan Rara terasa basah dan lembab oleh air liur Baskoro, sedangkan yang sebelah kiri diremas-remas oleh tangan besarnya. Sesekali jarinya mencubit, memelintir puting kirinya. Lima menit di sana, Baskoro mengganti target kenyotannya. Sekarang dada kiri Rara yang terasa geli. Mengisap penuh nafsu layaknya bayi yang kehausan. Seakan ada sari kehidupan di sana. Desahan Rara makin kencang apalagi tangan kiri Baskoro menelusup ke dalam roknya. Kedua dada Rara kini sudah basah oleh air liur akibat diisap, dijilat bergantian oleh Baskoro. Gerakan Rara pun makin tak beraturan karena gairah yang makin besar.
Pantatnya bergerah maju mundur, memutar ke segala membuat Baskoro mengerang di sela hisapannya. Rara tahu apa yang dirasakan lelaki itu. Ia bisa merasakan kemaluan lelaki itu yang bergerak membesar walau dilindungi celana. Laki- laki itu sudah terbakar nafsu dan menjadi pejantan yang siap menyetubuhi betinanya. Kemaluan Baskoro terasa makin besar di bawah sana. Meminta dipuaskan.
Tangan Rara bergerak menuju selangkangan Baskoro. Mencoba membuka sabuk pinggangnya. Namun gerakannya terhenti oleh tangan Baskoro yang tiba- tiba menahannya. Rara menoleh, menatap Baskoro penuh tanya. Baskoro hanya menggeleng pelan. Enggan menerima ajakan Rara. Baskoro menarik tangan Rara menjauh. Melarang Rara membuka celananya, tapi Rara dapat melihat lami- laki itu tidak sungguh- sungguh. Karena mata pria itu berbicara hal yang bertentangan dengan mulut Baskoro. Pun tubuhnya. Rara bisa melihat kabut gairah yang melapisi mata pria itu.
Dengan lembut Rara mengecup bibir Baskoro. Mengecup rahang dan cuping telinganya. Kembali meraup bibir Baskoro, membangkitkan gairah pria tua itu lebih banyak. Tangannya meraba dada berbulu Baskoro dari sela kancing kemeja laki- laki itu yang terbuka. Diikuti tarian lidah pada rongga mulut sang pria.
” Biarin Rara bikin bapak enak ya?” ucap Rara dengan suara yang mengalun merdu diiringi goyangan pantatnya yang menggesek kemaluan Baskoro setelah melepaskan pagutan penuh air liur mereka.
Rara tak menunggu jawaban, karena erangan dari bibir Baskoro yang disertai remasan pada bokongnya sudah cukup mengandung arti iya baginya. Rara turun dari pangkuan Baskoro, berjongkok dengan lututnya yang menempel pada lantai mobil. Diacuhkannya rasa nyeri yang sedikit melanda pada pergelangan kakinya. Ia tidak boleh kalah oleh rasa sakit yang tidak seberapa ini.
Rara sigap membuka ikat pinggng yang melekat di celana Baskoro. Diikuti membuka resleting celana kain berwarna coklat milik pria itu. Tepat ketika Rara menurunkan celana dalam lelaki itu, penis lelaki itu melompat keluar. Mengacung tinggi menunjukkan keperkasaannya kepada dunia. Rara takjub melihat kemaluan milik Baskoro. Di dunia ini hanya dua orang yang penisnya pernah Rara lihat.
Bapaknya yang bajingan itu dan ‘dia’ laki- laki cinta pertamanya. Penis Baskoro berbeda dengan penis bapaknya yang kecil. Tenggelam oleh perutnya yang membuncit menjijikan. Walaupun Baskoro juga buncit, namun tidak separah bapaknya itu. Penis Baskoro juga berbeda dari milik ‘dia’. Penis Baskoro tidak sepanjang milik ‘dia’ tapi lebih tebal dengan helm merah yang merekah bagai jamur.
Memperhatikan penis Baskoro dengan jarak sangat dekat membuat vagina Rara sendiri berdenyut. Rara membayangkan bagaimana rasanya dimasuki dengan benda yang lebih besar dari yang pernah dia rasakan. Tapi Rara cepat menyadarkan dirinya. Waktu tidak memadai untuk dia melakukan hal itu. Dia cukup melakukan serangan pertama hari ini.
Rara mulai menggenggam penis Baskoro, mengurutnya pelan. Menggerakkan genggamannya naik turun. Baskoro sendiri memejamkan matanya saat merasakan jari halus milik Rara menyentuh permukaan kulit penisnya. Sungguh andai Rara tidak melakukannya niscaya ia akan melupakan betapa lembutnya jemari makhluk bernama wanita.
Baskoro bukannya tidak pernah bermain wanita setelah istrinya meninggal. Tapi entah kenapa tidak ada satu wanita yang mampu membuatnya bergairah, atau membuat penisnya setidaknya berdiri setengah tenggak. Namun dengan Rara berbeda. Gadis itu tidak perlu melakukan apapun untuk membuat dirinya mandi air dingin setiap hari.
Hanya dengan aroma tubuhnya yang sekilas tercium Baskoro bisa seharian mencoba membuat kemaluannya tertidur. Dan sekarang, dengan gadis itu berjongkok di bawahnya, penisnya langsung bereaksi dengan brutal. Menegang dengan kondisi super maksimal.
Baskoro masih menikmati kocokan tangan Rara di penisnya saat tiba- tiba dirasakannya sesuatu yang lembab dan lebih lembut menyentuh kepala penisnya. Baskoro membuka kelopak matanya, menunduk dan tercengang melihat Rara yang mencium ujung kemaluannya tersebut. Baskoro menahan nafasnya saat lidah Rara menjilati permukaan ujung penisnya, mencucukkan lidahnya di sela lubang kencingnya.
Lalu sesekali menghisapnya pelan. Rara juga menjilati seluruh permukaan batang penisnya hingga ke pangkal seolah penisnya adalah es krim nikmat yang sayang dilewatkan. Diacuhkan bau keringat yang muncul dari selangkangan Baskoro. Tak ketinggalan skortum yang mengantung juga tak luput dari lumatan bibir sensual Rara.
Dan saat yang ditunggu akhirnya tiba. Baskoro merasa melayang kala dirasakannya penisnya itu dilingkupi sesuatu yang basah. Setengah dari batang penisnya itu sudah masuk kedalam mulut mungil Rara yang kini terlihat mengembung. Kepala Rara bergerak naik turun kala mengulum penis besar Baskoro. Sesekali lidahnya menari di kepala penisnya. Menggoda lubang kencingnya.
Gerakan kepala Rara makin cepat dan penisnya makin dalam tenggelam dalam mulut Rara. Baskoro hanya bisa mengerang nikmat saat seluruh penisnya masuk lebih dalam lagi menerobos tenggorokan Rara. Wajah ayu Rara menubruk rimbunan rambut kemaluannya membuat sensasi tersendiri bagi Baskoro. Tak puas hanya dengan gerakan dari Rara, Baskoro mulai membantu Rara bergerak.
Kedua tangan Baskoro memegang kepala Rara. Mengambil alih gerakan Rara. Mempercepat ritme kepala Rara yang terus mengulum dan memainkan penisnya. Baskoro sungguh tidak peduli dengan erangan protes Rara yang tersedak, juga air liur yang mengalir di sela bibir gadis itu. Yang Baskoro pedulikan hanya rasa sesak yang menggumpal di dalam penisnya yang mendesak ingin keluar.
Makin cepat ia gerakan kepala Rara, dan saat pelepasan tiba, ditekannya kepala Rara hingga hampir seluruh batang penisnya tertelan. Kepalanya menengadah, mulutnya membuka tanpa suara saat dirasakannya spermanya kencang menyemprot tenggorokan Rara.
Crott crott crott crott
Rara yang merasa Baskoro sudah menyampai puncak gelagapan menelan sperma yang tertuang begitu banyak di mulutnya. Asin…rasa yang lama tidak Rara rasakan. Tidak ada waktu bernostalgia dengan rasa sperma yang ia rindukan. Menelan seluruh sperma yang dicurahkan Baskoro adalah prioritas jika tidak maka bisa saja sperma Baskoro menetes dari sela bibirnya dan mengotori jok mobil.
Saat semua sperma tertelan olehnya Rara menyedot lubang kencing Baskoro, membersihkan sisa- sperma yang mungkin masih menggantung, belum tuntas menyemprotkan diri. Diliriknya Baskoro yang bersandar lemas pada punggung kursi pengemudi. Di bibirnya tersungging senyum puas. Dengan pelan dielusnya kepala Rara yang masih sibuk membersihkan penisnya yang masih berdiri tegak.
Rara tersenyum melihat sebuah pesan yang diterima handphonenya. Sebuah nominal angka baru saja masuk ke dalam rekeningnya. Senyumnya makin lebar mengingat seperempat hutang bapaknya bisa ia bayarkan.
Tiga bulan menjalani hubungan dengan Baskoro, laki-laki itu sudah memberikan Rara nominal uang yang tidak sedikit. Tiga puluh lima juta dalam tiga bulan. Membuat Rara dapat membayarkan hutang bapak sialannya itu dengan lebih cepat.
Setiap bulan Baskoro mengirimkan Rara sejumlah uang yang tidak tentu nominalnya tanpa Rara memintanya. Memang Rara pernah bercerita tentang keluarganya, itupun karena Baskoro yang memaksa, dan Rara tidak meminta sepeser pun secara langsung kepada pria itu. Namun seperti yang Rara pernah ucapkan. Laki- laki pasti akan memberikan apapun kalau mereka terpuaskan. Dan terbukti kan. Jadwal 3 minggu sekali melayani Baskoro membuat Rara mendapatkan apa yang dia butuhkan.
Rara juga merasakan hubungan yeng lebih nikmat karena berhubungan dengan laki- laki yang tidak beristri. Tidak perlu ada rasa khawatir atau takut kepergok pasangan si pria. Tidak perlu sembunyi sembunyi untuk pergi bersama. Hanya di kantor saja Rara bersikap menjaga jarak, itu pun di depan umum. Rara masih tahu diri dan menjaga nama baik Baskoro. Rara tidak mau Baskoro mendapat masalah karena dirinya. Bagaimana juga, ia masih membutuhkan Baskoro.
Dering handphonenya tak lama terdengar. Nama Baskoro terpampang di layar handphonenya.
” Halo Pak.” sapa Rara segera setelah menekan tombol hijau.
” Saya masih di lantai 4. Kamu balik duluan saja. Nanti saya jemput di kos.” jelas Baskoro. Rara hanya menjawab iya dan Baskoro memutuskan panggilan singkat itu.
Rara kembali menekuni pekerjaan sebelumnya, mencuci beberapa cangkir yang tadi dipakai oleh para karyawan saat seorang OB yang dikenalnya bernama Rian memasuki pantry. Rian berdiri di sebelah Rara, membantunya meletakkan cangkir- cangkir bersih di rak pengeringan.
” Kamu balik sama siapa Ra?” tanya Rian tiba- tiba. Rara hanya menoleh singkat, dan kembali membersihkan tumpukan cangkir di depannya.
” Seperti biasa Mas. Sendiri.” jawab Rara tanpa memperhatikan Rian.
” Masa ? Bukan dijemput pacar?”
Rara hanya tersenyum sambil menggeleng.
” Aku boleh ngantar kamu pulang dong kalo gitu?”
Rara menghentikan gerakan tangannya, lalu berbalik menghadap Rian.
” Rara bukan nggak mau mas. Cuma kos Rara kan jauh dari sini. Setau Rara juga beda arah sama rumah mas. Jadi Rara nggak mau merepotkan mas.”
” Nggak kok Ra. Nggak sama sekali repot.” sanggah Rian, namun percuma, Rara hanya menggeleng. Tetap menolak ajakan Rian.
” Jangan jual mahal gitulah Ra. Sekali- kali nerima ajakan aku kan nggak apa- apa.”
Rara mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Rian. Memangnya salah kalau dia jual mahal dan menolak laki- laki tersebut?
” Begini juga saya punya uang kok Ra. Berapa sih paling mahal buat diservis kamu?” Kini alis Rara terangkat. Tidak mengerti ucapan Rian. Rara ingin menanggapi ucapan Rian, namun ia tahu itu percuma.
Rian masih terus bicara hal yang tidak Rara pahami, saat Rara menyelesaikan pekerjaannya dan mengeringkan kedua tangannya. Rara segera beranjak dari pantry menuju ruang loker. Ia tak mau membuang waktu mendengarkan ocehan tak berfaedah laki- laki ini yang makin lama makin tak jelas juntrungannya.
” Rara pamit ya Mas. Mau pulang. Udah jam 5.” menunjuk jam dinding tang tergantung di belakang mereka. Tapi Rian seolah tak peduli dan masih bersikeras mengajak Rara ikut pulang bersamanya. Ia bahkan mengikuti Rara yang sibuk berbenah di depan loker gadis itu. Rara yang sudah lelah bekerja, tak bisa lagi menahan sabar melihat Rian hang terus merongrongnya seolah ia memiliki hutang dengan laki- laki itu.
” Mas nggak paham kata tidak ya? Rara udah bilang Rara bisa pulang sendiri. Mas nggak bodoh kan?” ucap Rara keras membuat beberapa rekan kerja mereka yang juga bersiap pulang menoleh. Sebagian berbisik- bisik dan menatap ingin tahu apa yang terjadi. Wajah Rara yang memerah mengisyaratkan bahwa gadis itu sedang melampiaskan emosinya, namun mereka heran apa yang membuat marah gadis yang selalu ceria itu.
Rian yang merasa malu bergegas pergi tanpa berkata apapun. Namun dari raut wajahnya, dapat disimpulkan ia merasa sangat kesal pada Rara.. Rara menghela nafas panjang. Melirik jam dan juga bergegas meninggalkan ruangan itu tanpa memberikan penjelasan kepada orang- orang di sekitarnya.
Setibanya di kos satu jam kemudian, Rara segera mengangkat ke luar beberapa kardus barang yang sedari pagi sudah diletakkannya di dekat pintu kamarnya. Tas pakaian juga ia angkut bersamaan dengan beberapa paper bag besar. Nonton Bokep
” Jadi pindah dek Rara?” tanya seorang wanita yang lebih tua dari Rara yang melongok dari balik daun pintu kamarnya saat mendengar suara gaduh.
” Iya mbak.” jawab Rara singkat tanpa menoleh. Ia masih sibuk menyusun kardus kecil yang akan dibawanya.
” lho itu kipas sama perabotan nggak di bawa?”
Rara menengok ke benda yang di tunjuk wanita itu.
” Nggak mbak. Rara tinggal aja. Di kos baru udah lengkap semua.”
” Ooo begitu. Memang kos barunya dimana?” sepertinya wanita itu kepo tingkat akut karena tidak berhenti bertanya. Rara menyebutkan nama daerah tempat tinggal barunya dan dihadiahi jawaban menyebalkan oleh wanita itu.
” Disewain sama om- om kemarin ya Ra? Di sana kan kos-kos mahal.” Rara hanya tersenyum kecil menanggapi. Rara sudah kebal tiga bulan selalu mendengar nyinyiran wanita yang tiap malam selalu pergi dengan pakaian seksi. Di lingkungan kos-nya, wanita ini memang dijuluki Ratu Kepo dan Ratu Nyinyir saking tidak bisa diam mulutnya itu. Beruntung tak lama terlihat Baskoro menghampiri Rara dan segera mengangkat barang- barang Rara tanpa basa basi.
Rara yang melihat itu segera paham kalau Baskoro tidak nyaman dan segera ikut berlalu dari kamar kos lamanya. Siapq juga yang nyaman berada di tempat yang terkesan kumuh itu? Kecuali orang yang memang hanya memiliki pendapatan terbatas saja yang mau berada di sana.
Itu sebabnya Baskoro memaksa Rara pindah dari sana. Selain lingkungan yang Baskoro rasa tidak aman, terlalu jauh dari kantor, Baskoro juga tidak nyaman dengan tatapan menyelidik dari tetangga Rara ketika ia mampir. Baskoro sadar, hubungan yang dijalaninya bersama Rara itu aneh.
Tidak akan ada yang percaya kalau ia berkata bahwa ia duda dan Rara bukan simpanannya. Mana ada seorang gadis cantik seperti Rara mau berpacaran dengan laki- laki tua yang mirip Pak Raden sepertinya? Maka setelah berdebat panjang, Baskoro mencari info tempat kos yang menurutnya sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.
” Mbak, Rara pamit ya. Permisi.” ujar Rara singkat lalu melangkahkan kaki keluar dari pelataran kos itu. Walau kesal Rara tetap mencoba bersikap sopan. Baru lima langkah, suara wanita itu terdengar lagi.
” Perabotanmu buat aku aja ya Rara.” pintanya tak tahu malu. Rara mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Terserah mau diapakan, Rara tak lagi peduli.
Setelah berhasil menyusul Baskoro yang lebih dulu berada di mobil, Rara langsung ikut membantu menyusun barang- barangnya di belakang. Ia tidak mau berpangku tangan. Apa yang dilakukan Baskoro melebihi ekspetasinya. Ia tidak bisa bersikap. Seenaknya dan menjadi lupa diri.
” Nanti bapak langsung pulang ke rumah atau nginap?” tanya Rara sesaat setelah mereka berdua duduk manis di dalam mobil.
” Saya menginap. Nggak mungkin biarin kamu sendirian membereskan kamar.” jawab Baskoro dengan raut datar. Pria itu tidak berubah, masih berbicara dengan raut datar. Hanya saat berada di atas atau du bawah Rara saja ia menunjukkan ekpresi lebih. Ekspresi keenakan.” Anak-anak?” tanya Rara lagi. Rara mengetahui bahwa Baskoro memiliki tiga orang anak dengan istri pertamanya yang memiliki usia tak terpaut jauh darinya.
” Sudah saya hubungi. Mereka tahu saya ke tempat kamu.”
Nah bagian ini yang tidak pernah Rara mengerti. Bagaimana bisa dengan santai Baskoro bercerita soal dirinya kepada tiga anaknya itu? Dan hebatnya tidak ada yang protes atau marah. Walau begitu Rara belum ada keinginan mengenal ketiga anak Baskoro itu. Ia tidak ada rencana menikahi duda tua itu. Yang ada di pikirannya hanya bagaimana menjauhkan preman suruhan rentenir dan bapak sialannya menjauh dari ibu serta ke dua adiknya di kampung.
TIKET KEMENENGAN disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.