Home »
cerita dewasa +18
» Cerita Seks Istriku di Kempo
Cerita Seks Istriku di Kempo
ONEBETQQ CERITA DEWASA - Dulu, ia jadi buruan banyak lelaki, termasuk aku. Juwita namanya, umur 27 tahun, lima tahun lebih muda dariku, kulitnya putih mulus, rambut panjang agak bergelombang dan mata yang bulat indah. Ia seorang wanita yang terkenal alim sejak dulu, santun dalam tingkah laku, selera berpakaiannya pun tinggi, ia tidak suka mengumbar kemulusan tubuhnya walau dikaruniai body yang aduhai dengan payudara yang montok.
Dari sekian banyak lelaki, akhirnya akulah yang beruntung mendapatkannya sebagai istri. Aku tahu, banyak lelaki lain yang pernah menidurinya dalam mimpi atau menjadikannya objek masturbasi mereka. Tetapi, aku bukan hanya bermimpi.Agen Domino 99 Terpercaya
Aku bahkan betul-betul menidurinya kapanpun aku mau. Ia juga membantuku masturbasi saat ia datang bulan. Cintaku padanya belum berubah, yang berubah hanya caraku memandangnya. Tiba-tiba, entah kapan dan bagaimana awalnya, aku selalu membayangkan Juwita dalam dekapan lelaki lain.
Entah aku sudah gila atau bagaimana, rasanya benar-benar excited membayangkan payudara dan vaginanya dalam genggaman telapak tangan pria lain, terutama yang bertampang kasar dan status sosialnya di bawahnya.
Juwita istri yang setia, jadi tentu saja, dalam imajinasiku itu, Juwita tidak sedang berselingkuh. Aku mungkin gila membayangkannya menderita lantaran diperkosa! Dan kini imajinasiku itu menjadi kenyataan.
Di depanku, seorang lelaki tengah memeluknya dari belakang. Sebelah tangan lelaki itu meremas-remas payudaranya. Sebelah lagi dengan kasar melakukan hal yang sama pada pangkal pahanya. Tiga lelaki sedang bersiap-siap memperkosa Juwita, seorang istri setia yang alim. Itu semua terjadi di depan suaminya sendiri dan atas perintahnya.
Tentu saja, Juwita tak tahu hal itu terjadi atas rancangan aku, suaminya. Itu sebabnya, kedua matanya kini terikat. Tiga lelaki itu adalah orang yang kupilih untuk mewujudkan fantasi gilaku.
Setelah melalui beberapa pertimbangan dan pembicaraan-pembicaraan santai yang makin mengarah ke serius, akhirnya kudapatkan juga tiga orang yang kurasa pas untuk mewujudkan kegilaanku. Orang pertama, Aldo, adalah office boy di kantor tempatku bekerja.
Orangnya masih berumur 23 tahun, berperawakan kurus tinggi dengan kumis tipis. Dia sering membantuku dan tugas-tugas yang pernah kupercayakan padanya pun selalu rapi. Pada jam istirahat atau lembur kami sering ngobrol dan merokok bersama, dan dalam suatu obrolan lah aku mengungkapkan ide gilaku padanya.
Sifatnya agak pemalu dan pendiam sehingga tidak banyak teman.Menurut pengakuannya, ia belum pernah berpacaran apalagi main perempuan.
“Ya boleh juga lah Bos, sapa tau seperti kata Bos, bisa bikin saya lebih berani ke cewek hehehe” katanya menanggapi permintaanku.
Orang kedua Bob, seorang temanku di perusahaan tempatku bekerja dulu, seorang pria berusia 40 tahun lebih. Aku berpikir dia pas untuk tugas gila ini begitu melihatnya terutama perutnya yang gendut. Aku memang kadang mengkhayalkan wajah Juwita yang lembut dikangkangi seorang lelaki gendut.
Bob mengaku tertarik dengan tawaranku lantaran ia punya seorang karyawati cantik yang belum berhasil ditaklukannya. Ia memperlihatkan foto gadis itu kepada kami yang memang harus diakui cantik. Kata Bob, ia sudah berulangkali mencoba merayu gadis itu untuk melayaninya, tetapi gadis itu selalu menolaknya.
“Setelah bermain-main dengan Juwita, aku ingin kalian membantuku memperkosa si Lia ini” katanya.
Orang ketiga bernama Jaelani yang direkomendasikan oleh Bob. Ia adalah sopir perusahaan di tempat kerja Bob, tubuhnya kekar, kulitnya hitam, kumis di atas bibirnya menambah sangar wajahnya yang memang sudah seram itu. Melihatnya, aku langsung membayangkan Juwita menjerit-jerit lantaran vaginanya disodok penis pria seperkasa Jaelanni ini.
“Saya udah lima tahun cerai, selama ini mainnya sama perek kampung aja kalau lagi sange, kalau ngeliat yang cantik kaya istri Abang ini wah siapa ga kepengen Bang” sahutnya antusias ketika kuperlihatkan foto Juwita di HP-ku.
“OK deh, minggu depan kita beraksi. Silakan kalian puaskan diri dengan istriku. Nanti hari H min satu kita atur lagi lebih dalam rencananya! kataku mengakhiri pertemuan.
Sehari sebelum hari yang direncanakan tiba, kami berempat berkumpul lagi di rumah kontrakan Jaelani untuk membahas apa yang harus dilakukan. Akhirnya, ide Bob yang kami pakai. Idenya adalah menculik istriku dan membawanya ke villa Bob yang besar dan terletak di luar kota.
Bob menjamin, teriakan sekeras apapun tak akan terdengar keluar villanya itu, selain itu suasananya pun jauh dari keramaian kota sehingga aman untuk melakukannya. Kami semua sepakat dan mulai membagi tugas. Aku tak sabar menunggu saatnya mendengar jeritan kesakitan Juwita diperkosa ketiga pria ini.
Hari yang disepakati pun tiba. Aku tahu, pagi itu Juwita akan ke rumah temannya. Aku tahu kebiasaannya. Setelah aku berangkat kantor, ia akan mandi. Hari itu ia memakai gaun terusan krem bermotif bunga-bunga. Sebenarnya aku tidak ke kantor, tetapi ke rumah Bob. Di sana, tiga temanku sudah siap. Kamipun meluncur ke rumahku dengan mobil van milik Bob. Sekitar sepuluh menit lagi sampai, kutelepon Juwita.
“Sudah mandi, sayang ?” kataku.
“Barusan selesai kok” sahutnya.
“Sekarang lagi apa?”
“Lagi mau pake baju, hi hi…” katanya manja.
“Wah, kamu lagi telanjang ya ?”
“Hi hi… iya,”
“Cepat pake baju, ntar ada yang ngintip lho !” kataku.
“Iya sayang, ini lagi pake BH,” sahutnya lagi.
“Ya udah, aku kerja dulu ya, cup mmuaachh…” kataku menutup telepon.
Tepat saat itu mobil Bob berhenti di samping rumahku yang tak ada jendelanya. Jadi, Juwita tak akan bisa mengintip siapa yang datang. Bob, Aldo dan Jaelani turun, langsung ke belakang rumah. Kuberitahu mereka tentang pintu belakang yang tak terkunci.
Aku tak perlu menunggu terlalu lama. Kulihat Aldo sudah kembali dan mengacungkan jempolnya. Cepat kuparkir mobil Bob di garasiku sendiri.
“Matanya sudah ditutup Do?” kataku.
“Sudah bos. Mbak Juwita sudah diikat dan mulutnya disumpel. Tinggal angkut” katanya.
Memang, kulihat Bob dan Jaelani sedang menggotong Juwita yang tengah meronta-ronta. Istriku yang malang itu kini terikat tak berdaya. Kedua tangannya terikat ke belakang. Aku siap di belakang kemudi. Kulirik ke belakang, tiga lelaki itu memangku Juwita yang terbaring di jok tengah.
“Ha ha… step one, success!” kata Bob.
Aku menelan liurku ketika rok Juwita disingkap sampai ke pinggang. Tangan mereka saling berebut menjamah pahanya yang putih mulus. Bob bahkan telah menurunkan bagian dada Juwita yang agak rendah sehingga sebelah payudaranya yang masih terbungkus bra hitam menyembul keluar. Lalu, ia menurunkan cup bra itu.
Mata ketiganya seolah mau copot melihat payudara 34B Juwita yang bulat montok dengan puting coklat itu. Bob bahkan langsung melumat bongkahan kenyal itu dengna bernafsu embuat Juwita merintih-rintih. Gilanya, aku malah sangat menikmati pemandangan itu.
“Udah Bang, sekarang berangkat aja dulu” kata Jaelani sambil jarinya mulai merambahi selangkangan Juwita dan mengelusi vaginanya dari luar celana dalamnya.
Setelah empat puluh menit perjalanan tibalah kami di villa Bob yang besar. Kami mengikat Juwita di ranjang dengan tangan terentang ke atas. Si sopir, Jaelani, tengah memeluknya dari belakang, meremas payudara dan pangkal pahanya.
“Pak Bob merokok kan? Juwita benci sekali lelaki perokok. Saya pingin ngelihat dia dicium lelaki yang sedang merokok. Saya juga pengen Pak Bob meniupkan asap rokok ke dalam memeknya,” bisikku kepada Bob.
Bob mengangguk sambil menyeringai. Aku lalu mengambil posisi yang tak terlihat Juwita, tapi aku leluasa melihatnya. Kulihat Bob sudah menyulut rokoknya dan kini berdiri di hadapan Juwita. Dilepasnya penutup mata Juwita.
Mata sendunya berkerjap-kerjap dan tiba-tiba melotot. Rontaan Juwita makin menjadi ketika Bob menjilati pipinya yang halus. Apalagi, kulihat tangan Jaelani tengah mengobok-obok vaginanya. Pinggul Juwita menggeliat-geliat menahan nikmat.
“Bang nggak bosen-bosen mainin memek Mbak Juwita,” tanya Aldo yang duduk di sebelahku sambil memainkan penisnya.
“Lho, kok kamu di sini. Ayo direkam sana!” kataku menepuk punggungnya.
“Oh iya. Lupa!” kata Aldo sambil cengengesan.
Bob menarik lepas celana dalam Juwita yang menyumbat mulutnya.
“Lepaskaaaan…. mau apa kalian… lepaskaaaan!” langsung terdengar jerit histeris Juwita yang marah bercampur takut.
“Tenang Mbak Juwita, kita cuma mau main-main sebentar kok,” kata Bob sambil menghembuskan asap rokok ke wajah cantiknya.
Kulihat Juwita melengos dengan kening berkerut.
“Ya nggak sebentar banget, Mbak. Pokoknya sampe kita semua puas deh!” kata Aldo.
Ia berjongkok di hadapan Juwita. Diarahkannya kamera ke bagian bawah tubuh Juwita, ia mengclose-up jari tengah Ben yang sedang mengobok-obok vagina istriku.
“Memek Mbak rapet sih. betah nih saya maenan ini seharian,” timpal Jaelani.
“Aaakhhh… binatang…lepaskaaann…nngghhhh! ” Juwita meronta-ronta dan menangis
Telunjuk Aldo ikut-ikutan menusuk ke dalam vaginanya. Kulihat Bob menghisap rokok Jie Sam Soe-nya dalam-dalam. Tangan kirinya meremas-remas payudara kanan Juwita yang telah terbuka
“Lepaskaaaan… jangaaann….setaan….mmmfff…..mm mmfffff….mmmpppfff… .” jeritan Juwita langsung terbungkam begitu Bob melumat bibirnya dengan buas.
Mata Juwita mendelik. Kulihat asap mengepul di antara kedua bibir yang berpagut itu. Al
mengclose-up ciuman dahsyat itu. Ketika Bob akhirnya melepaskan kuluman bibirnya, bibir Juwita terbuka lebar. Asap tampak mengepul dari situ. Lalu Juwita terbatuk-batuk.
“Ciuman yang hebat, Jeng Juwita. Sekarang aku mau mencium memekmu,” kata Bob.
Juwita masih terbatuk-batuk. Wajahnya yang putih mulus jadi tampak makin pucat. Bob berlutut di hadapan Juwita. Jaelani dan Aldo membantunya membentangkan kedua kaki Juwita lebih lebar.
“Wow, memek yang hebat,” kata Bob sambil mendekatkan ujung rokok yang menyala ke rambut kemaluan Juwita yang tak berapa lebat.
Sekejap saja bau rambut terbakar menyebar di ruangan ini. Bob lalu menyelipkan bagian filter batang rokoknya ke dalam vagina Juwita. Istriku masih terbatuk-batuk sehingga terlihat batang rokok itu kadang seperti tersedot ke dalam.
Tanpa disuruh, Aldo meng-close-upnya dengan handycam. Bob lalu melepas rokok itu dari jepitan vagina Juwita. Dihisapnya dalam-dalam. Lalu, dikuakkannya vagina Juwita lebar-lebar. Mulutnya langsung merapat ke vagina Juwita yang terbuka.
“Uhug…uhug…aaaakkhhh… aaaaakkhhh….aaaaakkkhhhh…” Juwita menjerit-jerit histeris. Bob tentu sudah mengembuskan asap rokoknya ke dalam vagina istriku.
“Aaakhhhh… panaaassss….adududuhhhh….” Juwita terus menjerit dan meronta-ronta. Kulihat Bob melepaskan mulutnya dari vagina istriku.
Sementara Aldo mengclose up asap yang mengepul dari vagina Juwita. Juwita semakin menangis ketakutan.
Bob bangkit dan menjilati sekujur wajahnya. Lalu dengan gerak tiba-tiba ia mengoyak bagian dada istriku. Juwita memekik ketika Bob merenggut putus bra-nya yang telah tersingkap. Ia terus menangis saat Bob mulai menjilati dan mengulum putingnya.
Kulihat Jaelani kini berdiri di belakang istriku. Penisnya yang besar itu telah mengacung dan siap beraksi. Ia menoleh ke arahku, seolah minta persetujuan. Aku mengacungkan ibu jari, tanda persetujuan. Tak sabar aku melihat istriku merintih-rintih dalam persetubuhan dengan lelaki lain. Kuberi kode kepada Aldo, si office boy, agar mendekat.
“Tolong tutup lagi matanya. Gua pengen ingin dia menelan sperma gua soalnya selama ini dia belum pernah” kataku
Al mengangguk dan segera melakukan perintahku. Setelah yakin Juwita tak bisa melihatku, aku pun mendekat.
“Aaakkhhh….aaakkkhhh….. jangaaaannn….!” Juwita menjerit lagi, kali ini lantaran penis Jaelani yang besar mulai menusuk vaginanya.
Kulihat baru masuk setengah saja, tapi vagina Juwita tampak menggelembung seperti tak mampu menampung penis itu. Kulepaskan ikatan tangan Juwita tapi kini kedua tangannya kuikat ke belakang tubuhnya.
Penis si sopir masih menancap di vaginanya. Jaelani kini kuberi isyarat agar duduk di lantai. Berat tubuh Juwita membuat penis Jaelani makin dalam menusuk vaginanya. Akibatnya Juwita menjerit histeris lagi. Tampaknya kali ini ia betul-betul kesakitan.
Aku sudah membuka celanaku. Penisku mengacung ke hadapan wajah istriku yang cantik ini. Juwita bukannya tak pernah mengulum penisku. Tapi, selalu saja ia menolak kalau kuminta spermaku tertumpah di dalam mulutnya.
“Jijik ah, Mas,” katanya berkilah.
Tetapi kini ia akan kupaksa menelan spermaku. Kutekan kepalanya ke bawah agar penis si sopir masuk lebih jauh lagi sehingga Juwita makin histeris. Saat mulutnya terbuka lebar itulah kumasukkan penisku, jeritannya pun langsung terbungkam.
Aku berharap Juwita tak mengenali suaminya dari bau penisnya. Ughhhh… rasanya jauh lebih nikmat dibanding saat ia mengoral penisku dengan sukarela. Kupegangi bagian belakang kepalanya sambil kugerakkan maju mundur pinggulku.
Sementara Jaelani juga sudah semakin ganas menyentak-nyentak penisnya pada vagina istriku. Juwita mengerang-erang, dari sela kain penutup matanya kulihat air matanya mengalir deras. Aku tak bisa bertahan lebih lama lagi.
Kutahan kepalanya ketika akhirnya spermaku menyembur deras ke dalam rongga mulut istriku yang kucintai. Kutarik keluar penisku, tetapi langsung kucengkeram dagunya yang lancip. Di bawah, Bob dan Aldo menarik kedua puting istriku.
“Ayo, telan, banyak proteinnya nih Mbak, sehat loh” kata Bob.
Akhirnya memang spermaku tertelan, meski sebagian meleleh keluar di antara celah bibirnya. Nafas Juwita terengah-engah di antara rintihan dan isak tangisnya. Ben masih pula menggerakkan pinggangnya naik turun.
Aku duduk bersila menyaksikan istriku tengah dikerjai tiga pria bertampang jelek. Penis Jaelani masih menancap di dalam vagina Juwita. Kini Bob mendorong dada Juwita hingga ia rebah di atas tubuh tegap sopir itu. Ia kini langsung mengangkangi wajah Juwita.
Ini dia yang sering kubayangkan. Wajah cantik Juwita terjepit pangkal paha lelaki gendut itu. Kuambilalih handycam dari tangan Aldo, lalu kuclose up wajah Juwita yang menderita. Juwita menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjerit-jerit.
Tetapi, jeritannya langsung terbungkam penis Bob. Kedua tangan kekar Jaelani menggenggam payudara Juwita. Meremas-remasnya dengan kasar dan berkali-kali menjepit kedua putingnya. Dari depan kulihat, tiap kali puting Juwita dijepit keras, vaginanya tampak berkerut seperti hendak menarik penis Ben makin jauh ke dalam.
Aldo tak mau ketinggalan. Ia kini mencari klitoris Juwita. Begitu ketemu, ditekannya dengan jarinya dengan gerakan memutar. Sesekali, bahkan dijepitnya dengan dua jari. Terdengar Juwita mengerang-erang, tubuhnya mengejang seperti menahan sakit.
“Boleh aku gigit klitorisnya?” tanya Aldo padaku sambil berbisik.
“Boleh, asal jangan sampai luka,” sahutku sambil mengarahkan handycam ke vagina istriku.
Office boy pemalu ini betul-betul melakukannya. Mula-mula dijilatinya bagian sensitif itu. Lalu, kulihat klitoris istriku terjepit di antara gigi-gigi Aldo yang tidak rata. Ditariknya menjauh seperti hendak melepasnya. Kali ini terdengar jerit histeris Juwita.
“Aaaaakkhhhh….saakkkkiiiittt…” rupanya Bob saat itu menarik lepas penisnya lantaran Jaelani ingin berganti posisi. Jaelani memang kemudian berdiri sambil mengangkat tubuh Juwita pada kedua pahanya. Penisnya yang besar masih menancap di vagina istriku.
Terus terang aku iri melihat penisnya yang besar itu. Juwita terus menjerit-jerit dalam gendongan Jaelani yang ternyata membawanya ke atas meja. Diturunkannya Juwita hingga kini posisinya tertelungkup di atas meja. Kedua kakinya menjuntai ke bawah dan kedua payudaranya tepat di tepi meja.
“Kita teruskan lagi, ya Mbak. Memek Mbak kering sekali, jadi lama selesainya,” kata si sopir
Ia menusukkan dua jari ke vagina Juwita sehingga tubuh istriku itu menggeliat.
“Sudaaahh…. hentikaaan…kalian…bangsat!” teriaknya di sela isak tangisnya.
“Iya Mbak, maafkan kami yang jahat ini ya?” sahut Jaelani sambil kembali memperkosa istriku.
Suara Juwita sampai serak ketika ia menjerit histeris lagi. Tapi tak lama, Bob sudah menyumpal mulutnya lagi dengan penisnya.
Dalam posisi seperti itu, si sopir betul-betul mampu mengerahkan kekuatannya. Tubuh Juwita sampai terguncang-guncang. Kedua payudaranya berayun ke muka tiap kali Ben mendorong penisnya masuk. Lalu, kedua gumpalan daging kenyal itu berayun balik membentur tepi meja.
Payudara Juwita yang putih mulus kini tampak memerah. Jaelani terlihat betul-betul kasar, mungkin Juwita adalah wanita tercantik yang pernah disetubuhinya sehingga tak heran ia begitu bernafsu. Saat ia terlihat hampir sampai puncak, Bob berseru kepadanya,
“Buang ke mulutnya dulu. Nanti putaran kedua baru kita buang ke memeknya,” kata Bob.
Jaelani mengangguk lalu ia bergerak ke depan Juwita. Vagina Juwita tampak menganga lebar, tetapi sejenak saja kembali merapat. Bob dengan cepat menggantikan posisi Jaelani. Penisnya kini menyumpal mulut Juwita. Ia menggeram keras sambil menahan kepala Juwita.
“Ayo, telen spermaku ini… Uuughhhh….yah…. telaaannn…..” si sopir meracau.
Jaelani baru melepaskan penisnya setelah yakin Juwita benar-benar menelan habis spermanya. Juwita terbatuk-batuk, sopir itu mengusapkan penisnya yang berlumur spermanya sendiri ke hidung Juwita yang mancung.
“Uuggghhh….nggghhhhhh…..” Juwita merintih.
Tak menunggu lama, kini giliran Bob menyetubuhi Juwita. Juwita tampaknya tak kesakitan seperti saat diperkosa si sopir. Mungkin karena penis Bob lebih kecil.
“Aiaiaiaiiiii…. jangaaan…. aduhhhh…. sakiiit….” tiba-tiba Juwita mendongak dan menjerit kesakitan.
“Anusmu masih perawan ya ? Nanti aku ambil ya ?” katanya.
Ternyata, sambil menancapkan penisnya ke vagina Juwita, Bob menusukkan telunjuknya ke anus Juwita.
Kudekati Bob seraya berkata,
“Jangan sekarang, pak Bob. Aku juga ingin merasakan menyodominya. Aku belum pernah memasukkan kontolku ke situ,” bisikku.
“Oke, setelah suaminya, siapapun boleh kan?” sahutnya juga dengan berbisik.
Aku mengangguk. Bob tak mau kalah dengan Jaelani. Ia juga menancapkan penisnya dengan kasar, cepat dan gerakannya tak beraturan. Bahkan, sesekali ia mengangkat sebelah kaki Juwita dan memasukkan penisnya menyamping. Saat bersetubuh denganku, biasanya posisi menyamping itu bisa membuat Juwita melolong-lolong dalam orgasme.
Tapi, kali ini yang terdengar adalah rintihan dan jerit kesakitan. Saat aku mulai merasa kasihan padanya, jeritan itu berhenti. Aldo kini membungkam mulutnya dengan penisnya. Peluh membasahi sekujur tubuh Juwita.
Bob sudah menumpahkan sperma ke dalam mulutnya. Tubuh Juwita terkulai lemas karena kelelahan, keringat bercucuran di tubuhnya yang mulus. Tetapi, kulihat ia masih sadar. Aldo membopongnya ke kasur busa yang tergeletak di lantai. Juwita diam saja ketika ikatan tangannya dilepas.
“Sebentar ya Mbak. Bajunya dilepas aja semua biar lebih enak ngentotnya” katanya sambil melucuti seluruh pakaian yang masih tersangkut di tubuh Juwita. Juwita kini berbaring terlentang di kasur busa tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.
Hanya arloji Fossil, kalung dan cincin kawin yang masih tersisa di tubuhnya. Ia tampak terisak-isak. Aldo kemudian mengikat kembali kedua tangan Juwita menjadi satu ke kaki meja. Aku tertarik melihat Aldo yang sikapnya lembut dan agak malu-malu kepada Juwita.
“Aduh kasihan, tetek Mbak sampai merah begini,” katanya sambil membelai-belai lembut kedua payudara istriku.
Dipilin-pilinnya juga kedua puting Juwita dengan ujung jarinya. Juwita menggeliat merasakan rangsangan menjalar ke seluruh tubuhya dari wilayah sensitif itu.
“Siapa yang menggigit ini tadi ?” tanya Aldo.
“Alaaaa, sudahlah, banyak cingcong amat kau ini…cepat masukkan kontol kau tuh ke memek cewek ini,” terdengar Bob berseru.
“Ah, jangan kasar begitu. Perempuan cantik gini harus diperlakukan lembut. Ya, Mbak Juwita?” Al terus membelai-belai vagina Juwita yang ditutupi bulu-bulu hitam lebat.
Kali ini ia menyentil-nyentil puting Juwita dengan lidahnya, sesekali dikecupnya. Biasanya, Juwita bakal terangsang hebat kalau kuperlakukan seperti itu dan tampaknya ia juga mulai terpengaruh oleh kelembutan Aldo setelah sebelumnya menerima perlakuan kasar.
“Unngghhh…. lepaskan saya, tolong. Jangan siksa saya seperti ini,” mohonnya.
Aldo tak berhenti, kini ia malah menjilati sekujur permukaan payudara istriku. Lidahnya juga terus bergerak ke ketiak Juwita yang mulus tanpa rambut sehelaipun. Juwita menggigit bibirnya menahan geli dan rangsangan yang mulai mengganggunya.
Aldo mencium lembut pipinya dan sudut bibirnya. Aku sempat heran, katanya dia belum pernah menyentuh wanita, tapi kok mainnya sudah ahli begini, apakah kebanyakan nonton bokep? Pikirku
“Jangan khawatir Mbak. Bersama saya, Mbak akan merasakan nikmat. Kalau Mbak sulit menikmatinya, bayangkan saja wajah suami Mbak,” kata Aldo sambil melanjutkan mengulum puting Juwita. Kali ini dengan kuluman yang lebar hingga separuh payudara Juwita terhisap masuk.
“MMmfff….. ouhhhhh….tidaaakk… saya tidak bisa… ” sahut Juwita dengan isak tertahan. “Bisa, Mbak… Ini suami Mbak sedang mencumbu Mbak. Nikmati saja… ” Aldo terus menyerang Juwita secara psikologis.
Jilatannya sudah turun ke perut Juwita yang rata. Dikorek-koreknya pusar Juwita dengan lidahnya. Juwita menggeliat dan mengerang lemah.
“Vaginamu indah sekali, istriku…” kata Aldo sambil mulai menjilati bibir vagina istriku. Juwita mengerang lagi. Kali ini makin mirip dengan desahannya saat bercumbu denganku. Pinggulnya kulihat mulai bergerak-gerak, seperti menyambut sapuan lidah office boy itu pada vaginanya. Ia terlihat seperti kecewa ketika Aldo berhenti menjilat.
Tetapi, tubuhnya bergetar hebat lagi saat pemuda itu dengan pandainya menjilat bagian dalam pahanya. Aku acungkan ibu jari pada Aldo, itu memang titik sensitifnya. Aldo menjilati bagian dalam kedua paha Juwita, dari sekitar lutut ke arah pangkal paha. Pada jilatan ketiga, Juwita merapatkan pahanya mengempit kepala si office boy dengan desahan yang menggairahkan.
“Iya Juwita, nikmati cinta suamimu ini,”
Aldo terus meracau, direnggangkannya kembai kedua paha Juwita. Kini lidahnya langsung menyerang ke pusat kenikmatan Juwita. Dijilatinya celah vagina Juwita dari bawah, menyusurinya dengan lembut sampai bertemu klitoris.
“Ooouhhhhhh…. aahhhh…. am…phuuunnn….” Juwita merintih menahan nikmat. Apalagi, Aldo kemudian menguakkan vaginanya dan menusukkan lidahnya ke dalam sejauh-jauhnya.
Juwita makin tak karuan. Kepalanya menggeleng-geleng. Giginya menggigit bibirnya, tapi ia tak kuasa menahan keluarnya desahan kenikmatan. Apalagi Aldo kemudian dengan intens menjilati klitorisnya.
“Ayo Mbak Juwita, nikmati…. nikmati… jangan malu untuk orgasme…” kata Aldo, lalu tiba-tiba ia menghisap klitoris Juwita. Akibatnya luar biasa. Tubuh Juwita mengejang, dari bibirnya keluar rintihan seperti suara anak kucing. Tubuh istriku terguncang-guncang ketika ledakan orgasme melanda tubuhnya.
“Bagus Mbak, puaskan dirimu,” kata Al, kali ini sambil menusukkan dua jarinya ke dalam vagina istriku, keluar masuk dengan cepat.
“Aaakkhhhh….aaauuunnghhhhhh…” Juwita melolong, lalu ia menangis merasa terhina karena menikmati perkosaan atas dirinya.
Aldo memperlihatkan dua jarinya yang basah oleh cairan dari vagina istriku. Lalu ia mendekatkan wajahnya ke wajah istriku. Dijilatnya pipi istriku.
“Oke Mbak, kamu diperkosa kok bisa orgasme ya ? Nih, kamu harus merasakan cairan memekmu” katanya sambil memaksa Juwita mengulum kedua jarinya.
Juwita hanya bisa menangis. Ia tak bisa menolak kedua jari Aldo ke dalam mulutnya. Dua jarikupun masuk ke dalam vagina Juwita dan memang betul-betul basah. Kucubit klitorisnya dengan gemas.
“Nah, sekarang aku mau bikin kamu menderita lagi,” kata Aldo yang lalu menempatkan dirinya di hadapan pangkal paha Juwita.
Penisnya langsung menusuk jauh. Juwita menjerit kesakitan. Apalagi Aldo memperkosanya kali ini dengan brutal. Sambil menyetubuhinya, Aldo tak henti mencengkeram kedua payudara Juwita. Kadang ditariknya kedua putting Juwita hingga istriku menjerit-jerit minta ampun.
Seperti yang lain, Aldo juga membuang spermanya ke dalam mulut istriku. Kali ini, Juwita pingsan saat baru sebagian sperma office boy itu ditelannya. Aldo dengan gemas melepas penutup mata Juwita, lalu disemburkannya sisa spermanya ke wajah cantik istriku.
Juwita sudah satu jam pingsan, aku menghampiri tubuhnya yang terkulai lemas dan sudah berlumuran keringat dan sperma itu.
“Biar dia istirahat dulu. Nanti suruh dia mandi. Kasih makan. Terus lanjutkan lagi kalau kalian masih mau,” kataku sambil menghisap sebatang rokok.
“Ya masih dong, bos. Baru juga sekali,” sahut Jaelani sambil tangannya meremas-remas payudara Juwita.
“Iya, gua kan belum nyoba bo’olnya” timpal Bob sambil jarinya menyentuh anus Juwita. “Oke, terserah kalian. Tapi jam dua siang dia harus segera dipulangkan,” kataku.
Tiba-tiba Juwita menggeliat. Cepat aku pindah ke tempat tersembunyi. Apa jadinya kalau dia melihat suaminya berada di antara para pemerkosanya? Kulihat Juwita beringsut menjauh dari tiga temanku yang hanya memandanginya.
Rambut panjangnya yang indah sudah agak berantakan, ia menyilangkan tangan menutupi tubuh telanjangnya. Tentu itu tak cukup untuk menutupinya malah membuat ketiga pria itu semakin bergairah padanya. Jaelani berdiri mendekatinya, lalu mencengkeram lengannya dan menariknya berdiri.
“Jangan… saya nggak sanggup lagi. Apa kalian belum puas?!” Juwita memaki-maki.
“Belum ! Tapi sekarang Mbak harus mandi dulu supaya memeknya ini bersih!” bentak sopir itu sambil tangan satunya mencengkeram vagina Juwita.
Juwita menjerit-jerit waktu pria itu menyeretnya ke halaman belakang. Ternyata mereka akan memandikannya di ruang terbuka. Kulihat Jaelani menarik selang panjang dan langsung menyemprotkannya ke tubuh telanjang Juwita.
Juwita menjerit-jerit, berusaha menutupi payudara dan vaginanya dengan kedua tangannya. Bob lalu mendekat, menyerahkan sepotong sabun kepada Juwita.
“Kamu sabunan sendiri apa aku yang nyabunin?” tanyanya.
Juwita tampak ragu.
“Cepat, sabunan Mbak, kan dingin” seru Aldo.
Semprotan air deras diarahkannya tepat mengenai pangkal paha Juwita. Juwita perlahan mulai menyabuni tubuhnya. Ia terpaksa menuruti perintah mereka untuk juga menyabuni payudara dan vaginanya.
Tak tahan hanya menonton saja, Bob akhirnya mendekati istriku.
“Begini caranya nyabunin memek!” katanya sambil dengan kasar menggosok-gosok
vagina Juwita.
Juwita menjerit kecil ketika Bob mendekap tubuhnya dan tangannya mulai menggerayangi tubuhnya yang licin oleh sabun. Mulut pria gemuk itu juga menciumi pundak dan leher istriku. Tak lama kemudian, acara mandi akhirnya selesai. Mereka menyerahkan sehelai handuk kepada Juwita. Juwita segera menggunakannya untuk menutupi tubuhnya.
“Hey, itu bukan untuk nutupin badanmu. Itu untuk mengeringkan badan,” bentak Jaelani.
“Kalau sudah bersih, kita terusin lagi ya Mbak, enak sih!” kata Aldo
“Aiiihhh…” Juwita memekik karena Aldo sempat-sempatnya mencomot putingnya.
“Kalau sudah handukan, susul kami ke meja makan. Kamu harus makan biar kuat,” lanjut Bob sambil meremas bokong Juwita yang bundar!
Kulihat Juwita telah selesai mengeringkan tubuhnya. Ia mematuhi perintah mereka, tanpa mengenakan apapun ia melangkahkan kakinya ke ruang makan. Betul-betul menegangkan melihat istriku berjalan di halaman terbuka dengan tanpa mengenakan apapun.
Sensasinya makin luar biasa karena dalam keadaan seperti itu ia kini berjalan ke arah tiga lelaki yang tengah duduk mengitari meja makan. Mereka betul-betul sudah menguasai istriku. Kulihat Juwita menurut saja ketika diminta duduk di atas meja dan kakinya mengangkang di hadapan mereka.
Posisiku di belakang teman-temanku, jadi akupun dapat melihat vagina dan payudara Juwita yang terbuka bebas. Bob mendekatkan wajahnya ke pangkal paha Juwita. Kulihat ia menciumnya.
“Nah, sekarang memekmu sudah wangi lagi,” katanya.
Juwita menggigit bibirnya dan memejamkan mata.
“Teteknya juga wangi,” kata Aldo yang menggenggam sebelah payudara Juwita dan mengulum putingnya.
“Ngghhh… kenapa kalian lakukan ini pada saya,” rintih Juwita.
“Mau tahu kenapa ?” tanya Bob, jarinya terus saja bergerak sepanjang alur vagina Juwita.
Aku tegang. Jangan-jangan mereka akan membongkar rahasiaku.
“Sebetulnya, yang punya ide semua ini adalah Mr X,” kata Bob.
Aku lega mendengarnya.
“Siapa itu Mr X ?” tanya Juwita.
“Kamu kenal dia. Dia pernah disakiti suamimu. Jadi, dia membalasnya pada istrinya,” jelas Bob.
“Tapi Mr X tak mau kamu mengetahui siapa dia. Itu sebabnya tiap dia muncul, matamu ditutup.” lanjut Bob.
“Sudah, Bos, biar Mbak Juwita makan dulu. Dia pasti lapar habis kerja keras,” sela Ben.
“Maaf ya Mbak Juwita. Kami nggak punya nasi. Yang ada cuma ini,” kata Ben sambil menyodorkan piring berisi beberapa potong sosis dan pisang ambon. Ben lalu mengambilkan sepotong sosis.
“Makan Mbak, dijilat dan dikulum dulu, seperti tadi Mbak mengulum kontol saya,” katanya.
Tangan Juwita terlihat gemetar ketika menerima sepotong sosis itu. Dengan ragu-ragu ia menjilatinya, mengulumnya lalu mulai memakannya sepotong demi sepotong. Habis sepotong, Aldo mengupaskan pisang Ambon lalu didekatkannya dengan penisnya yang mengacung.
“Pilih pisang yang mana, Mbak ?” goda Aldo, “ayo ambil,” lanjutnya.
Juwita menggerakan tangannya hendak mengambil pisang namun Aldo menangkap pergelangannya dan memaksa Juwita menggenggam penisnya.
“Biar saya suap, Mbak pegang pisang saya saja,” katanya.
“Tangannya lembut banget nih” kata Aldo.
Jaelani tak mau kalah, ia menarik sebelah tangan Juwita dan memaksanya menggenggam penisnya yang besar. Sementara Juwita menghabiskan sedikit demi sedikit pisang yang disuapkan Aldo. Sepotong pisang itu akhirnya habis juga. Bibir Juwita tampak belepotan. Bob yang sedang merokok kemudian mencium bibir Juwita dengan bernafsu. Juwita mengerang-erang dan akhirnya terbatuk-batuk saat Bob melepaskan ciumannya.
“Sudah…uhukkk… sudah cukup,” kata Juwita dengan nafas terengah-engah.
“Eee ini masih banyak. Sekarang kita haus nih, Mbak harus temenin kita minum,” kata Bob.
“Tapi gelasnya kurang ya?” sahut Jaelani sambil merenggangkan paha Juwita.
Juwita meronta-ronta tetapi Aldo dan Bob memeganginya. Jaelani membuka sebotol bir lalu menumpahkan seluruh isinya ke tubuh telanjang Juwita hingga basah.
“Hmmm…ini baru maknyus namanya!” kata Bob sambil mendorong tubuh Juwita hingga terbaring telentang di meja.
Juwita terisak-isak, ia merasakan dinginnya bir itu di sekujur tubuhnya, juga jilatan-jilatan lidah dan tangan-tangan para pria itu yang merangsang setiap titik di tubuhnya. Bob menyeruput bir yang tertumpah di vagina gadis itu hingga terdengar bunyi sruput yang rakus.
“Cara baru minum bir, suegerr!!!” sahut Jaelani yang asyik menyeruput bir pada payudara istriku.
Adegan selanjutnya tak urung membuatku kasihan pada Juwita. Mereka membawanya ke halaman belakang dan memperkosanya di atas rumput secara beramai-ramai.
Sperma mereka bercipratan bukan saja di dalam vagina Juwita, tapi juga di tubuhnya. Begitu usai, mereka membaringkan Juwita yang sudah tak sadarkan diri di atas sofa.
Kulihat kondisi Juwita sudah betul-betul berantakan, bekas-bekas cupangan terlihat di kulitnya yang putih terutama di payudara, leher dan pundaknya, sperma berceceran di hampir seluruh tubuhnya mulai dari vagina hingga wajahnya, rambut panjangnya pun tidak luput dari cipratan cairan kental itu.
Kami mengangkut tubuh telanjang Juwita ke kamar mandi dan membersihkannya dengan shower lalu memakaikan kembali pakaiannya. Juwita masih belum sadar akibat perkosaan brutal tadi. Kami menaikkannya ke mobil dan kembali ke ibukota.
Sampai di Jakarta, Juwita mulai bangun, terdengar suara melenguh dari mulutnya. Matanya masih dalam keadaan tertutup karena aku tidak ingin dia melihatku. Bob mengancamnya agar tidak menceritakan kejadian hari ini pada siapapun kalau tidak ingin rekaman perkosaan tadi bocor dan mempermalukan dirinya dan keluarganya.
Juwita hanya bisa mengangguk dengan terisak-isak. Kami menurunkannya di depan rumah lalu aku segera tancap gas menjauhi rumahku.
Aku tiba di rumah dan setelah memarkirkan mobil di garasi aku masuk ke rumah dan memanggil nama istriku, berpura-pura seolah tidak terjadi apapun.
“Ren…Renn!!” aku mengeraskan suaraku karena tidak ada yang keluar ataupun membalas sahutanku
“Renn…lu dimana!” panggilku lagi
‘Cklik!” tiba-tiba kamar mandi lantai satu di sebelahku membuka, Juwita keluar dari sana.
“Iya Mas, sori saya sakit perut” katanya, “O ya mas, hari ini gak sempat masak, tadi di jalan pulang macet banget, jadi beli makanan di luar, saya panasin sekarang ya Mas”
Kulihat matanya sembab, tapi ia berusaha tersenyum di depanku. Ketika makan malam ia lebih diam dari biasanya namun berusaha menanggapi obrolanku. Kupeluk pinggangnya yang ramping ketika ia sedang mencuci piring sehabis makan dan kubisikkan kata-kata mesra di telinganya.
Biasanya aksi ini berlanjut hingga ke hubungan intim baik kilat maupun long time. Namun kali ini ia menepisnya.
“Jangan Mas, jangan hari ini, saya cape, tolong ya…please!” katanya dengan tatapan memohon.
Akupun mengerti karena tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kupeluk dia dengan mesra dan kucium keningnya
“I love you honey!” ucapku dekat telinganya
“Sori banget Ren, lu emang istri yang baik, ga mau orang lain ikut cemas dan susah, gua janji ini ga akan terjadi lagi” kataku dalam hati sambil mempererat pelukanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.