Sementara Susilo dan para bawahannya sibuk berbenah, para karyawan yang lain tampak saling membicarakan calon pimpinan mereka yang baru, yang akan menggantikan Pak Hengki.
“Katanya sih seorang cewek.” Celetuk salah seorang karyawan.
“Galak tidak, ya?” tanya yang lain.
“Semoga saja tidak seperti Pak Hengki.” Harap seorang karyawan.
Jam delapan lewat lima belas menit, empat buah mobil mewah berhenti di pela-taran parkir kantor. Segera para bawahan Susilo yang di tugasi menyambut dan membukakan pintu mobil melaksanakan tugas mereka. Dari keempat mobil itu, turun empat orang para pemimpin perusahaan. Salah seorang dari mereke, adalah seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun, berwajah cantik, hidung bangir, bodi sintal.
Semua karyawan pun bertanya-tanya, siapa perempuan setengah baya yang masih tampak cantik dan anggun itu? Sebab mereka semua belum tahu, siapa perempuan itu. Meski ada pula yang menduga-duga, apa mungkin perempuan cantik itu yang bernama Bu Siti Nara? Calon pimpinan mereka? Kalau ketiga lelaki yang mengiring perempuan cantik itu, adalah Pak Hengki, pimpinan yang akan diganti. Sedang dua lelaki yang berjalan di belakang mereka, adalah Pak Suryo dan Pak Handoko, direktur operasional dan direktur personalia.
Keempat orang itu masuk. Di lobbi, beberapa karyawan dan staf menyambut dengan anggukan kepala dan senyum ramah. Lalu mereka menaiki tangga, menuju ke lantai dua kantor itu. Di sana, mereka kembali di sambut oleh seluruh staf dan karyawan dengan ramah dan hormat. Setelah itu, baru kemudian keempat pimpinan perusahaan itu langsung menuju ke ruang pertemuan. Di mana akan diadakan acara serah terima jabatan dan juga perkenalan.
Semua karyawan dan staf semakin yakin, bahwa perempuan cantik jelita dan anggun mempesona itu, tentulah Siti Nara, calon pimpinan mereka yang baru. Yang akan menggantikan Pak Hengki.
“Saudara-saudara sekalian, hari ini akan diadakan acara serah terima jabatan pimpinan utama perusahaanini, dari Pak Hengki yang akan pindah tugas ke Surabaya, kepada Ibu Siti Nara. Setelah itu, akan dilanjutkan dengan acara pelepasan dan perkenalan . . .” protokol memberitahukan. Setelah itu, acara serah terima jabatan yang di saksikan oleh beberapa orang manager dan kepala bagianpun dilaksanakan.
Pak Hengki selaku mantan pimpinan diberi waktu untuk menyampaikan sambutan sebagai ungkapan perasaannya sebelum pergi meninggalkan kantor dan para karyawannya.
“Sebenarnya saya merasa berat sekali meninggalkan teman-teman yang selama ini telah banyak memberikan bantuan serta menjali kerja sama dengan saya. Namun di karenakan adanya tugas baru yang harus saya laksanakan, maka dengan berat hati terpaksa saya harus menerima perpisahan ini . . .” Pak Hengki sejenak menghentikan ucapannya. Menarik napas dalam-dalam. Lalu setelah memandang sesaat ke arah perempuan cantik yang berdiri di sampingnya, Pak Hengki meneruskan : “ . . . saya akan pergi meninggalkan kalian semua yang saya cintai. Namun sebelumnya, terlebih dulu saya meminta maaf pada kalian semua, apabila selama saya menjadi pimpinan di perusahaan cabang ini pernah – bahkan mungkin sering membuat kelalaian maupun kesalahan, kiranya kalian berkenan memafkan. Dan kepada Ibu Siti Nara, saya ucapkan selamat datang dan selamat bekerja. Kiranya, Bu Nara bisa meningkatkan kwalitas dan kwantitas di perusahaan ini.”
Selesai Pak Hengki menyampaikan sambutan, kemudian diteruskan sambutan yang disampaikan oleh Ibu Siti Nara.
“. . . terimakasih saya ucapkan pada semuanya, yang telah memberikan sambutan pada saya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pak Hengki, saya akan berusaha untuk bisa meningkatkan kwalitas dan kwantitas hasil kerja di perusahaan ini. Dan kepada Pak Hengki, saya pribadi maupun seluruh staf dan karyawan di perusahaan ini mengucapkan selamat jalan dan selamat menjalankan tugas baru. . .”
Selesai acara serah terrng disampaikan oleh Ibu Siti Nara.
“. . . terimakasih saya ucapkan pada semuanya, yang telah memberikan sambutan pada saya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pak Hengki, saya akan berusaha untuk bisa meningkatkan kwalitas dan kwantitas hasil kerja di perusahaan ini. Dan kepada Pak Hengki, saya pribadi maupun seluruh staf dan karyawan di perusahaan ini mengucapkan selamat jalan dan selamat menjalankan tugas baru. . .”
Selesai acara serah terima dan sambutan, dengan diiringi oleh para direksi dan manager serta kepala bagian, Pak Hengki meninggalkan ruangan itu. Menuju ke lantai lima paling atas, menyalami seluruh staf dan karyawan dan mengucapkan selamat tinggal. Sedangkan Ibu Siti Nara yang mendampingi Pak Hengki, menyalami mereka sambil memperkenalkan diri dan memberitahu bahwa dia akan menggantikan Pak Hengki di kantor itu.
Dari lantai lima, mereka turun ke lantai di bawahnya, dan seterusnya sampai di lantai dasar dan mengantar Pak Hengki sampai masuk ke dalam mobilnya. Berdiri di teras kantor. Mereka baru masuk kembali, setelah Pak Hengki dengan mobilnya melaju meninggalkan pelataran parkir kantor.
Ibu Nara kemudian diantar menuju ke ruang kerjanya yang berada di lantai tiga.
“Kami berharap kiranya di bawah kepemimpinan ibu, kwalitas dan kwantitas hasi di teras kantor. Mereka baru masuk kembali, setelah Pak Hengki dengan mobilnya melaju meninggalkan pelataran parkir kantor. Agen Domino 99 Terpercaya
Ibu Nara kemudian diantar menuju ke ruang kerjanya yang berada di lantai tiga.
“Kami berharap kiranya di bawah kepemimpinan ibu, kwalitas dan kwantitas hasil kerja kami meningkat,” kata Pak Suryo.
“Benar, Bu. Semoga ibu berkenan membimbing dan menegur kami jika ibu mendapatkan kekurangan atau kesalahan yang kami perbuat dalam menjalankan tugas,” timpal Pak Handoko.
“Begitu halnya dengan saya. Kiranya jika saya ada kelalaian atau kekurangan, Pak Suryo dan Pak Handoko, berkenan memberi teguran dan saran,” balas Bu Nara sambil tersenyum, yang semakin menambah cantik dan anggun wajahnya.
“Selamat bekerja, Bu,” kata Pak Suryo dan Pak Handoko hampir bersamaan.
“Terimakasih.”
Pak Suryo dan Pak Handoko pun pergi meninggalkan ruang kerja Bu Nara.
Sepeninggal kedua orang direktur itu, Siti Nara tidak langsung memegang dan mengerjakan tugas-tugasnya. Sesaat dia menyenderkan tubuhnya pada senderan kursi kerjanya yang empuk. Ditengadahkan wajahnya, memandang ke langit-langit ruang kerjanya. Dihelanya napas panjang dan berat. Hatinya bertanya, apakah dengan kedudukannya yang baru dan tinggi sebagai direktur utama, dia telah mendapatkan kebahagiaan sebagaimana yang dia harapkan?
Sepi. Lagi-lagi kesepian yang dia rasakan. Tidak di rumah, tidak di kantor, maupun dimana saja dia berada. Hatinya yang kecewa, membuatnya jadi merasa kesal dan dendam. Dan kekesalan serta dendam yang ada di hatinya itulah, yang membuat hidupnya jadi terasa sepi. Dan itu semua dikarenakan lelaki. Sebab, lelaki-lah yang telah membuatnya jadi begitu. Kesepian. Memendam rasa kecewa, dendam dan benci. Sehingga sampai dia berusia tiga puluh lima tahun, dia belum menikah. Dia masih sendiri, dan tetap akan sendiri. Entah sampai kapan. Sebab hatinya sudah membeku untuk bisa menerima cinta dari seorang lelaki. Hatinya terlanjur sakit. Sakit yang di sebabkan oleh perbuatan lelaki.
Kurang apa aku ini? Tanyanya dalam hati pada diri sendiri. Wajah dan tubuhku tak jelek. Tetapi, kenapa dia tega menyakitiku? Kenapa dia tega meninggalkanku dan lari ke perempuan lain, setelah puas merenggut kegadisanku?
Ingatnya, seketika kembali melayang pada kejadian beberapa tahun yang silam. Pada mantan kekasihnya yang tega mengkhianati dan menyakiti dirinya. Ya, lelaki yang dicintai dengan sepenuh hati, ternyata tega mengkhianati dan menyakiti perasaannya. Tega meninggalkannya begitu saja dan menikah dengan perempuan lain, setelah dia menyerahkan kehormatannya. Menyerahkan segala-galanya.
***
Siti Nara tersadar dari lamunannya, ketika pintu ruang kerjanya terdengar di ketuk dari luar. Segera dia membetulkan letak duduknya. Menegakkan punggung dan duduk dengan sempurna memandang ke arah pintu ruang kerjanya yang diketuk.
“Masuk!” perintahnya.
Perlahan namun pasti, pintu ruang kerja itu terbuka. Masuk seorang lelaki muda dan tampan dengan bibir tersenyum simpati. Lelaki itu menganggukkan kepala hormat.
“Selamat pagi, Bu?” sapanya.
“Pagi. Ada apa?”
“Maaf, Bu. Ibu minumnya apa?”
“Kamu pelayan di sini?”
“Bukan, Bu. Saya kepala bagian umum.”
“Siapa namamu?”
“Susilo, Bu.”
“Kenapa tidak anak buahmu saja yang kemari?”
“Maaf, Bu. Saya kawatir kalau anak buah saya yang langsung menemui Ibu. Ibu kurang berkenan. Karena itulah, saya memberanikan diri menemui Ibu.”
Siti Nara terdiam sesaat dengan mata memandang lekat ke wajah Susilo. Yang di pandang, tak berani mengangkat muka. Merasa di pandang, Susilo malah semakin menundukkan kepala dalam-dalam.
“Apa ada pelayan kantor yang perempuan?” tanya Siti Nara.
“Tidak ada, Bu. Semua laki-laki.”
“Hmm . . .” Siti Nara menggumam. “Baiklah. Aku minta air putih saja.”
“Baik, Bu. Akan saya suruh anak buahku untuk mengantarnya.”
“Anak buahmu?” ulang Siti Nara dengan kening mengerut.
“Ya, Bu.”
“Kenapa tidak kamu?” tanya Siti Nara.
“Kalau memang itu yang Ibu inginkan. Baiklah. Permisi, Bu.”
“Mau kemana?”
“Bukankah Ibu menginginkan segelas air putih?”
“Ya.”
“Kalau begitu, saya akan segera mengambilkannya. Permisi . . .”
Susilo melangkah mundur ke arah pintu, kemudian keluar sambil menutup pintu ruang kerja pimpinannya.
Siti Nara tersenyum sendiri, melihat apa yang baru saja dilakukannya. Dimana dia telah membuat salah seorang lelaki harus menuruti perintahnya. Padahal, tak seharusnya lelaki itu melakukannya, karena Susilo adalah kepala bagian. Seharusnya yang melayani masalah minuman dan makan siang pimpinan perusahaan itu, adalah anak buahnya – yaitu pesuruh kantor atau office boy. Namun Siti Nara sengaja menyuruh Susilo langsung, untuk sekedar membuktikan, apakah dirinya mampu membalas sakit hatinya pada laki – laki. Dan nyatanya, dengan jabatan serta kedudukannya, dia mampu melakukannya.
Sambil menunggu Susilo kembali dengan membawakan minuman untuknya, Siti Nara pun mulai membuka-buka map-map berisi surat-surat yang harus ditandatanganinya.
Baru membuka satu map saja, dia sudah melihat adanya kesalahan laporan dari salah satu bagian : segera dia menekan nomor telepon ke sekretarisnya.
“Tolong kau kemari!” printahny.
“Baik, Bu,” terdengar jawaban sang sekretaris.
Siti Nara meletakkan kembali teleponnya, lalu dia kembali memeriksa laporan itu sambil menunggu sang sekretaris datang menemuinya.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu ruang kerjanya di ketuk dari luar.
“Masuk!”
Pintu terbuka. Masuk Susilo membawakan segelas air putih sebagaimana yang di minta oleh Siti nara.
“Ini, Bu.”
“Letakkanr.
“Masuk!”
Pintu terbuka. Masuk Susilo membawakan segelas air putih sebagaimana yang di minta oleh Siti nara.
“Ini, Bu.”
“Letakkan di situ.” Siti Nara menunjuk sudut mejanya yang kosong.
Susilo pun meletakkan gelas berisi air putih yang tertutup dan di tataki dengan lepek di tempat yang ditunjuk.
“Kalau Ibu ada keperluan lagi, jangan sungkan-sungkan memanggil saya di pesawat 011,” kata Susilo.
“Ya.”
“Permisi, Bu.”
“Ya.”
Susilo hendak melangkah untuk pergi meninggalkan ruangan itu, ketika Siti Nara memanggilnya. “Hei, sebentar . . .!
Susilo menghentikan langkahnya, lalu berbalik. “Ada apa, Bu?”
“Siapa namamu?”
“Susilo, Bu.”
“Kau kepala bagian umum?”
“Ya, Bu.”
“Ini ruangan dibersihkan tidak, sih?” tanya Siti Nara dengan wajah menunjukkan rasa tak senang.
“Dibersihkan, Bu. Bahkan tiap pagi dan sore, oleh bawahan saya disedot dengan penyedot debu.”
“Kok kotor amat?! Cepat bersihkan.”
“Baik, Bu. Akan saya suruh anak buah saya yang bertugas di ruangan ini membersihkannya.”
“Anak buahmu?”
“Ya, Bu.”
“Tidak. Aku tidak percaya pada anak buahmu nyatanya ruangan ini masih kotor. Aku ingin kau yang membersihkannya.”
Tersentak kaget Susilo mendengar perintah pimpinannya itu. Ada apa sebenarnya dengan pimpinannya yang baru itu? Tak semestinya dia diperintah membersihkan ruangan, karena itu adalah tugas bagian kebersihan. Sedang dia adalah seorang kepala bagian. Ini sudah sangat keterlaluan sekali. Namun Susilo tak berani menolak apalagi menentang perintah pimpinan.
“Kok masih diam? Cepat ambil penyedot debu dan bersihkan ruangan ini!” perintah Siti Nara.
“Baik, Bu.”
Susilo pun segera keluar meninggalkan ruangan itu untuk mengambil alat penyedot debu.
Tak beberapa lama, masuk Yunita sekretaris direksi.
“Pagi, Bu?”
“Pagi. Kau sekretaris di sini?”
“Ya, Bu.”
“Mana yang namanya Sulistio?” tanya Siti Nara.
“Ada apa memangnya, Bu?”
“Suruh dia kemar, Bu?”
“Suruh dia kemari!”
“Baik, Bu.”
Yunita pun bergegas keluar meninggalkan ruangan itu untuk memanggil Sulistio, kepala bagian Administrasi Kredit.
Siti Nara kembali memeriksa berkas-berkas laporan yang lannya dengan teliti dan seksama. Saat itu, masuk Susilo dengan membawa penyedot debu. Susilo pun langsung menjalankan pekerjaanya, menyedot debu yang ada di ruangan itu. Sedang Siti Nara, bagai tak terganggu oleh suara mesin penyedot debu trus saja bekerja memeriksa berkas – berkas laporan.
Dari luar, terdengar ketukan pintu. Siti Nara menghentikan pekerjaannya, memandang ke arah pintu yang di ketuk. DOMINO QQ
“Masuk!”
Pintu terbuka. Muncul seorang lelaki berusia sekitara tiga puluh lima tahun.
“Selamat pagi, Bu?”
“Pagi. Anda yang bernama Sulistio?”
“Benar, Bu.”
“Anda ini bagaimana, sih? Masak buat laporan begini saja tidak becus! Lihat ini!” Siti Nara menyodorkan map yang berisi berkas laporan yang dibuat Sulistio. Yang dengan segera diterima oleh Sulistio dengan wajah menunjukka rasa heran dan tak mngerti.
Heran, karena melihat Susilo mengerjakan pekerjaan yang seharusnya tidak dia lakukan. Sebab Susilo adalah seorang kepala bagin. Yang seharusnya melakukan, adalah bawahannya. Tak mengerti, karena dia merasa laporannya benar. Tetapi kenapa Bu Nara menyalahkannya.
“Coba periksa lagi!” perintah Siti Nara.
“Maaf, Bu. Saya tidak melihat kesalahannya.”
“Hei, apa mata anda sudah minus? Kesalahan segitu menyoloknya, sampai tidak melihat! Coba perhatikan sekali lagi!” bentak Siti Nara kasar, yang membuat Sulistio semakin bertambah bingung, sekaligus juga kesal. Dia pun kembali berusaha memeriksanya. Dan memang, akhirnya dia menemukannya. Hanya selirih angka lima puluh. Antara jumlah dan urutan angka-angka. Seharusnya ada jumlah 50 rupiah di jumlah, namun di situ tak tertulis
***
Semakin hari, sikap Siti Nara semakin menjadi-jadi. Semakin banyak staf maupun karyawan lelaki yang kena marah dan kena tegur. Sekecil apapun kesalahan yang diperbuat oleh karyawan pria, maka akan menjadikan masalah yang besar. Padahal kesalahan yang dilakukan karyawan itu mungkin tidak tidak disengaja. Tapi itulah kenyataannya. Jika ada seorang karyawan pria yang berbuat kesalahan, maka Bu Nara akan memarahinya habis-habisan, seakan kesalahan yang di perbuat karyawan itu benar-benar fatal. Sebaliknya, jika karyawati yang berbuat kesalahan, meski kesalahan itu besar dan hampir fatal, Bu Nara diam-diam saja.
Keadaan seperti itu jelas membuat mereka sebagai kaum lelaki merasa diperlakukan tidak adil. Hampir saja teman-teman Susilo mengadakan aksi protes, kalau saja Susilo tidak segera berusaha mencegahnya.
“Tindakannya sudah sangat keterlaluan, Sus,” kata salah seorang teman Susilo dengan nada sewot.
“Jelas itu sebuah diskriminasi, Sus. Masak kalau kaum kita berbuat kesalahan meski sekecil apapun, dia akan marah besar, seakan kesalahan yang kita perbuat sangat fatal? Sedangkan kalau kaumnya yang bebuat kesalahan, walau kesalahan itu hampir fatal, dia diamkan saja. . .!” timpal yang lain.
“Ya, pimpinan macam apa dia? Kalau begitu terus, bisa-bisa hancur perusahaan kita.”
Susilo cukup mengerti akan perasaan mereka. Bahkan, Susilo juga pernah mengalami hal seperti yang mereka alami. Namun, haruskah mereka melakukan unjuk rasa?
“Bagaimana menurutmu, Sus? Apa kita demo saja?”
“Jangan!” larang Susilo.
“Kenapa. . .?”
“Pantaskah kita sebagai lelaki, mendemo seorang perempuan?”
“Kenapa memangnya?”
“Malu. . .”
“Malu kenapa?”
“Ya, malu. . . Masa kita kaum lelaki mendemo seorang wanita hanya karena kita merasa diperlakukan tak adil? Jika hal itu sampai terjadi, lalu dimana harga diri kita sebagai lelaki?”
Semua teman Susilo terdiam, seakan mereka berusaha untuk merenungi perkataan Susilo.
“Lalu, apa kita akan menerima perlakuannya begitu saja?” tanya salah seorang dari teman-teman Susilo.
“Jelas tidak.”
“Terus bagaimana?”
“Jika kalian benar percaya padaku, biarkan aku mengatasi masalah ini,” jawab Susilo berusaha meyakinkan mereka.
“Apa yang akan kau lakukan, Sus?”
“Percayalah, aku akan berusaha mengadakan pendekatan daengannya. Aku akan berusaha meminta keadilan darinya, dan memintanya agar tidak semena-mena kepada kita.”
“Bagaimana jika dia menolak?”
“Aku akan membawa permasalahan inike kantor pusat,” jawab Susilo.
Teman-teman Susilo pun akhirnya pada diam, menuruti apa yang diaktakan. Dan sebelum Bu Nara datang, mereka yang semula bermaksud mogok kerja dan hendak melakukan demo, akhirnya mau kembali bekerja.
Ketika Bu Nara datang, semua karyawan sudah bekerja di bagiannya masing-masing. Kemudian setelah Bu Nara masuk keruang kerjanya, Susilo pun berusaha menemuinya.
“Ada apa, Sus?!” tanyanya dengan nada nada tinggi, seakan dia benar-benar tak menginginkan kehadiran Susilo di ruang kerjanya.
“Maaf, saya ingin bicara dengan ibu.”
“Mengenai apa?!”
“Masalah kantor.”
“Ada apa memangnya dengan kantor?”
Susilo pun menceritakan kepada atasannya itu akan apa yang hampir terjadi, kalau saja dia tak segera mencegah. Siti Nara terdiam. Wajahnya pun tak lagi menunjukkan kekerasan dan keangkuhan, tetapi berubah menjadi murung. Bahkan akhirnya dia menundukkan kepala, seakan berusaha menyembunyikan sesuatu keadilan yang tergambar di raut wajahnya.
“Kali ini saya masih bisa mengatasi mereka. Saya kwatir, jika ibu masih masih terus menunjukkan sikap seperti yang selama ini ibu tunjukkan,” kata Susilo berusaha mengingatkan.
Siti Nara semakin bertambah diam dengan kepala semakin dalam menunduk. Bahkan, dari kedua sudut matanya mengalir dua butir air bening.
“Maaf kalau apa yang telah saya katakan, telah membuat perasaan ibu tersinggung. Sekali lagi saya minta maaf, sungguh saya tak bermaksud menyinggung perasaan ibu,” kata Susilo dengan hati-hati.
“Tidak. . . Tidak apa-apa. Terimakasih atas perhatianmu.”
“Ah, itu sudah menjadi kewajiban dan tugas saya, Bu.”
“Ya, namun kalau kau tak punya perhatian, mungkin akibatnya akan lain. Sekali lagi, terimakasih. . .”
“Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya permisi, Bu. . .”
Susilo baru saja hendak melangkah ke pintu untuk keluar. Ketika terdengar suara Siti Nara memanggilnya.
“Sus. . .”
Susilo yang semula bermaksud meninggalkan ruang kerja itu, akhirnya menghentikan langkahnya. Lalu membalikkan tubuh, kembali menghadap ke arah Siti Nara.
“Ya, Bu. . .?”
“Bisakah nanti sepulang kerja kau ikut kerumahku?”
“Ada apa memangnya, Bu?”
“Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengajakmu ngobrol saja untuk bertukar pikiran. Bagaimana, kau bersedia kan . . .?” tanyanya setelah mengharap.
“insyaallah, Bu.”
“Saya sangat berharap sekali kau bisa datang ke rumahku.”
“Akan saya usahakan, Bu.”
“Terimakasih, Sus.”
` “Sama-sama, Bu. Permisi . ..”
“Ya.”
Dengan hati lega setelah mendapatkan keputusan dari Bu Nara, Susilo pun pergi meninggalkan ruang kerja Bu Nara dan kembali ke ruang kerjanya,
Teman-temannya yang sudah menunggu dan ingin tahu hasil yang didapat Susilo,langsung mendatangi.
“Bagaimana, Sus?”
“Sudah aku sampaikan kepadanya.”
“Terus, bagaimana tanggapannya?”
“Kita lihat saja nanti . . .” jawab Susilo sembari duduk dikursi kerjanya untuk memulai bekerja. Namun rupanya teman-temannya yang belum merasa puas atas jawabanSusilo, terus saja mengerubunginya dan meminta penjelasan yang mendetail dari Susilo.
Saat itu, Bu Nara masuk. Kehadirannya yang tiba-tiba, membuat karyawan dan staf yang sedang mengerubungi Susilo tak sempat untuk tertib. Bahkan mereka malah berdiri mematung, seakan tegangdan takut kalau-kalau Bu Nara akan memarahi mereka.
“Selamat pagi, Bu . . .?” sapa Susilo.
“Pagi. . .” jawab Bu Nara sambil tersenyum. Ah, senyum yang manis dan baru saja mengulas bibirnya setelah hampir seminggu tak ada senyum di sana. “Bagaimana kabar kalian hari ini?” tanyanya dengan ramah, yang membuat mereka seketika semakin bertambah terperangah,namun kali ini bukannya tegang, justru sebaliknya, wajah mereka menggambarkan kecerahan.
“Baik, Bu. . .”jawab mereka serempak.” Ibu sendiri, bagaimana kabarnya pagi ini, Bu . . .?”
“Baik. . .”
Ah, sungguh Susilo merasa bersyukur, karena akhirnya Bu Nara yang selama ini terkenal galak dan judes, bisa berubah menjadi ramah dan murah senyum. Meski begitu, Susilo tak bisa dibohongi, bahawa semua dilakukannya karena terpaksa. Di wajahnya, masih tergambar jelas kesedihan dan kemurungan. Entah apa yang membuatnya sedih dan murung. Beruntung hanya Susilo yang tahu, sedang karyawan dan staf lain tidak.
“Ee, begini, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada saudara-saudara yang telah banyak memberikan perhatian dan kritik kepada saya, baik yang langsung maupun tidak langsung. Dan saya juga minta maaf, kalau selama ini sikap saya telah membuat saudara-saudara tersinggung,” kata Bu Nara dengan suara lirih dan nada penuh ketulusan.
“Sama-sama, Bu. Kami juga minta maaf, kalau ada kesalahan yang telah mereka lakukan.” Timpal Susilo mewakili teman-temannya.
Bu Nara kemudian menyalami Susilo, juga menyalami teman=teman yang dengan wajah menunjukkan kegembiraan atas perubahan sikap Bu Nara menyambuti uluran tangan perempuan cantik yang menjadi atasan mereka.
“Oke, selamat bekerja, saya berharap dukungan sepenuhnya dari saudara-saudara.”
“Teimakasih, Bu.”
Setelah Bu Nara pergi, teman-teman pun langsung menyalami Susilo dan mengucapkan terimakasih kepadanya yang menurut penilaian mereka telah mampu membuat sikap Bu Nara berubah.